Loading...
OPINI
Penulis: Jacky Manuputty 11:23 WIB | Kamis, 29 Agustus 2013

Membangun Advokasi Lingkungan Berbasis Gereja

SATUHARAPAN.COM - Pada tanggal 16 Januari tahun ini, PGI menyelenggarakan Seminar Agama-Agama (SAA) di Mega Mendung dengan balutan tema yang agak provokatif “Tanggung Jawab Gereja Menyongsong Kiamat Ekologi”. Tema ini menggerakan para panelis dan peserta untuk menggelar fakta-fakta telanjang, tentang kerusakan ekosistem di Indonesia yang mengancam eksistensi kita. Pertanyaan utama yang mengalir dari rangkaian diskusi itu adalah, “bagaimana gereja-gereja (dan agama lainnya) di Indonesia harus bersikap?” 

Tantangan bagi gereja-gereja di Indonesia untuk menyikapi persoalan kehancuran ekosistem tentu bukan lagi pada tersedia atau tidaknya konsep teologis menyangkut pemeliharaan lingkungan. Gereja-gereja telah sangat khatam dalam mengutak-atik pemahaman teologis mengenai ciptaan dan pemeliharaan ciptaan.  Tantangan gereja-gereja saat ini adalah merumuskan suatu praxis berteologi, melalui pengembangan strategi dan tindakan advokasi lingkungan hidup berbasis gereja.  

Menanggapi tantangan ini, gereja berhadapan dengan sejumlah persoalan konkret yang harus dipertimbangkan. Ambil misal Gereja Protestan Maluku (GPM). Ketika menggumuli kerangka kerja advokasi lingkungan, GPM diperhadapkan dengan beberapa kondisi spasial, a/l: 

Dampak Otonomi Daerah - Terlepas dari banyak tanggapan bahwa UU No 32, 2004 tentang pemerintahan daerah memberikan impilkasi positif bagi terbentuknya tata pemerintahan yang lebih kontekstual, namun tak sedikit pula berdampak serius pada munculnya berbagai persoalan di tingkat lokal, terutama yang terkait dengan kehancuran ekologi. Tuntutan otonomi daerah untuk diberi kewenangan yang lebih besar dalam berbagai urusan, di antaranya kemandirian dalam peningkatan pendapatan asli daerah otonom (PAD), berimbas pula pada meluasnya praktik esploitasi sumber daya alam yang ada untuk pemenuhan target PAD. 

Berkembangnya konflik sosial – Konflik sosial sebagai dampak terbukanya akses terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, maupun pertambangan, berkembang marak di mana-mana. Konflik mewujud di antara masyarakat desa, antara masyarakat desa dengan pihak luar (pengembang/pemilik ijin usaha kehutanan maupun pertambangan), ataupun antara masyarakat dengan pemerintah setempat. Beberapa kasus yang terjadi di Maluku tidak saja menggambarkan benturan antara masyarakat dengan pemerintah lokal maupun pengembang, tetapi juga memicu konflik terbuka yang terkadang menjadi sangat berdarah di antara kelompok-kelompok masyarakat sendiri.  

Maraknya korupsi dan ancaman kerusakan ekologi – Euforia reformasi dan otonomi daerah membuat berbagai pihak merasa mendapatkan peluang yang tak pernah dinikmati sebelumnya. Ungkapan seperti ”saatnya orang daerah menikmati peluang SDA-nya,” kerapkali menjadi alasan untuk menguras SDA. Hal ini berdampak pada meningkatnya tingkat kerusakan hutan secara luas, berbarengan maraknya berbagai kasus korupsi terkait pemanfaatan SDA.  

Meningkatnya Kemiskinan – Realitas pengelolaan SDA yang luas di Maluku pada kenyataannya berbanding lurus dengan meningkatnya tingkat kemiskinan masyarakat. Antara harapan dan realitas nyatanya jauh berbeda. Praktik-praktik manipulasi dalam proses kontrak dan pelepasan hak atas lahan terjadi dengan marak dan sangat telanjang. Pulau Seram contohnya. Hilangnya lahan sebagai sumber kehidupan dalam proses jangka panjang mengakibatkan berbagai komunitas adat disana menjadi merana dalam kemiskinan yang panjang.  

 

Kerangka Advokasi Berbasis Gereja 

Mencermati berbagai tantangan di atas, terasa mendesak bagi gereja untuk merumuskan  protokol advokasi lingkungan hidup berbasis gereja, yang dapat dipakai secara praktis untuk memandu gereja-gereja mengakselerasi perannya secara konkrit dalam upaya pencegahan kiamat ekologis.  

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada bulan Mei lalu yang menetapkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara adalah salah satu peluang bagi gereja, untuk mendampingi secara langsung masyarakat adat dalam pengelolaan kebijakan konservasi lingkungan, serta penguatan hak-hak keperdataan atas ulayatnya. Di sini kebutuhan adanya suatu protokol advokasi menjadi penting bagi gereja, untuk mengatur bagaimana proses pendampingan harus dilakukan. 

Perumusan protokol ini juga penting untuk menentukan posisi spesifik gereja-gereja dalam kerja advokasi lingkungan, mengingat cukup banyak ’stakeholders’  lain yang telah bergerak dalam dinamika advokasi serupa. Termasuk di antaranya lembaga-lembaga keagamaan lain.  

Teologi gereja menjadi mandul dan gereja menjadi semakin tidak relevan sebagai pembawa kabar baik bagi orang-orang lemah, ketika gereja terlambat merumuskan sikap konkrit untuk mengadvokasi kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan persoalan-persoalan struktural, ketidak-adilan kebijakan, serta dampak kemiskinan yang mengemuka. Rekomendasi SAA-PGI di akhir pertemuan Mega Mendung untuk meminta PGI segera mengorganisir perumusan protokol advokasi lingkungan berbasis gereja, tentunya merupakan harapan yang terus dinanti realisasinya.   

 

Penulis adalah seorang pendeta dan Direktur Balitbang Gereja Protestan Maluku/GPM


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home