Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 14:03 WIB | Kamis, 22 Mei 2014

Memilih Presiden, Menimbang Figur

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dukungan partai politik bagi pasangan calon presidenmenjadi penting karena syarat yang ditetapkan untuk mengajukan calon oleh partai didasarkan perolehan suara atau kursi dalam pemilihan parlemen. Namun apakah hal itu juga akan menjadi kekuatan untuk “merebut” suara rakyat?

Melihat kekuatan dukungan partai politik terhadap kandidat pemilihan presiden, ada pertanyaan, apakah dukungan partai itu akan mencerminkan secara otomatis dukungan rakyat (konstituen dan pemilih) terhadap kandidat presiden dan wakil presiden?

Bahkan masih menjadi pertanyaan bahwa dukungan itu hanya terbatas pada elite partai, dan tidak menyentuh pada kader partai di tingkat bawah, apalagi rakyat. Atau apakah rakyat akan memilih  kandidat yang didukung oleh partai di mana partai atau caleg partai itu dipilih dalam pemilihan parlemen?

Mengukur kekuatan dukungan para calon presiden ini tampaknya tidak bisa sepenuhnya didasarkan pada dukungan partai politik, apalagi juga didasarkan pada perolehan suara di parlemen. Demikian juga dengan mengharapkan kinerja partai di tengah para pemilih. Ada karakteristik yang berbeda dalam pertimbangan rakyat menjatuhkan pilihan.

Pemilihan Parlemen

Pada pemilihan parlemen, terlihat adanya variasi yang sangat beragam, meskipun tidak mudah untuk melihat polanya. Para pemilih mungkin menggunakan pertimbangan platform partai, namun juga menggunakan pertimbangan kedekatan emosional dengan kandidat anggota legislatif. Akibatnya, pemilih bisa memberikan suaranya pada partai yang berbeda pada level yang berbeda (DPR RI, DPRD I, dan DPRDII).

Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa jika terjadi perubahan daftar nama calon anggota legislatif di antara partai peserta pemilu, suara itu kemungkinan akan mengalami perubahan yang signifikan.

Dalam pemilihan legislatif lalu, memang ada partai yang berkampanye dengan menyebutkan jika memilih partai tertentu itu berarti untuk mendukung capres tertentu. Hal ini dilakukan oleh Partai Gerindra yang mengusung capres Prabowo Subiyanto. Maka tantangannya sekarang adalah membuktikan meningkatnya perolehan suara Gerindra yang cukup besar itu, karena calegnya mendompleng popularitas Prabowo, atau sebaliknya peningkatan itu hanya sebatas kinerja dan kaitan dengan caleg bersangkutan?

Demikian juga dengan pesaing Prabowo, Joko Widodo. Pengumuman PDIP mencalonkan Jokowi sebelum pemilihan legislatif itu disebut untuk mendongkrak perolehan suara pemilihan legislatif. Jika ini yang terjadi, maka banyak caleg yang mendompleng popularitas Jokowi.

Namun, bisa saja kondisinya sebaliknya, karena pemilih tidak mempertimbangkan figur Jokowi dalam pemilihan legislatif. Soal Jokowi, bagi pemilih, bisa jadi akan dijadikan pertimbangan pada pemilihan presiden, dan tidak dikaitkan dengan pemilihan parlemen.

Di sisi lain, ada masalah politik uang dan “pencurian” suara menjadikan hubungan pemilih dengan figur caleg atau partai politik yang dipilih menjadi sulit dipahami polanya. Demikian juga pilihan pada partai politik pada pemilihan legislatif dengan figur calon presiden yang sudah ditampilkan.

Dukungan pada Figur

Dari pengalaman pemilihan umum 2004 dan 2009, figur calon tampaknya lebih menonjol dalam pemilihan presiden. Hal ini juga terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Pada pemilu 2004,Partai Demokrat (PD), Partai  Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) hanya menguasai 19,3 persen suara untuk pemilihan parlemen, tetapi Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang didukung partai tersebut mendapatkan 33,57 persen suara dalam pemilihan presiden putaran pertama, dan kemudian menang dengan 60,62 persen pada putaran kedua mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi.

Pada pemilihan umum 2009, pasangan SBY – Boediono memenangi dengan 70 persen suara, mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo Subiyanto, dan Jusuf Kalla-Wiranto. SBY- Boediono diukung oleh PD, PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB dengan kekuatan 46,7 persen suara. Ada dukungan partai kecil lain yang pertambahannya tidak signifikan.

Pengalaman pemilihan presiden itu menunjukkan bahwa dukungan pada partai dan caleg dalam pemilihan parlemen tidak otomatis akan membawa pemilih pada dukungan calon presiden  yang didukung partai atau caleg itu.

Dukungan ini tampaknya lebih menonjol pada figur ketimbang bergantung pada partai politik yang mengusung pasangan kandidat itu. Kecenderungan ini juga sebenarnya tampak pada pemilihan legislatif, di mana adanya daftar caleg terbuka, mendorong pemilih juga mempertimbangkan figur di samping partai politik tempat mereka bernaung.

Figur Pendukung

Kebergantungan pada figur ini menjadi tantangan bagi dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden ini untuk tampil memahami kepentingan rakyat dan kebutuhan rakyat. Gagasan yang ditawarkan memang akan dengan mudah disampaikan, namun juga bergantung pada memori rakyat tentang rekam jejak para kandidat.

Pertimbangan pemilih mungkin tidak didasarkan atas informasi yang cukup atas rekam jejak kandidat, bahkan mungkin atas dasar anggapan dan persepsi yang tidak selalu rasional. Hal ini justru akan menjadi tantangan paling besar bagi kedua pasangan yang bersaing.

Elite partai pendukung bisa menjadi mesin kampanye yang mengkomunikasikan hal tersebut, mengingat luasnya ruang untuk berkampanye dalam masa kurang dari dua bulan ini. Namun demikian, rekam jejak para “juru kampanye” ini juga banyak yang potensial menjadi batu sandungan bagi kandidat.

Masalah korupsi, misalnya, merupakan hal yang sensitif bagi rakyat (pemilih). Banyak respons terhadap berita pengusutan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seseorang yang kemudian melahirkan pertanyaan: “siapa setelah dia?” Figur di belakang capres dan cawapres yang disebut dalam daftar “siapa setelah dia” bisa menjadi titik yang menggembosi kandidat dalam pemilihan presiden.

Pertimbangan figur oleh pemilih ini tampaknya tidak terbatas pada figur capres dan cawapres, tetapi juga mereka yang ada di belakang capres dan cawapres itu. Kandidat bisa saja terbuai oleh besarnya dukungan oleh sejumlah elite tanpa pertimbangan bagaimana pemilih melihat figur tersebut. Kandidat yang gegabah mengangkut dukungan dari figur “bermasalah” bisa menghadapi masalah dalam pemilihan ini.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home