Loading...
ANALISIS
Penulis: Woro Wahyuningtyas 20:04 WIB | Jumat, 30 Oktober 2015

Mempertanyakan Kenegarawanan Wali Kota Bogor

Anak Nagari Subarang memasang "bungo salapan" pada badan Tabuik, saat prosesi "Tabuik Naik Pangkek", di Pariaman, Sumbar, Minggu (17/11). Prosesi "Naik Pangkek" yaitu menyambungkan bagian Tabuik menjadi satu kesatuan yang utuh oleh Nagari Pasa dan Subarang, sebagai rangkaian Pesta Budaya Tabuik 2013 memperingati hari Asyura (10 Muharram). (Foto: Antara/Iggoy el Fitra)

SATUHARAPAN.COM – Ada apa dengan kota Bogor? Mungkin pertanyaan ini mulai menggelitik beberapa pihak. Terutama bagi sekelompok kecil umat beragama di sana. Tetapi, pertanyaan ini juga relevan dipertanyakan oleh para pegiat HAM, pegiat keberagaman dan bahkan warga negara Indonesia yang taat pada konstitusi serta Pancasila sebagai dasar negara.

Bima Arya Sugiarto, dikenal sebagai seorang muda yang kritis, pengamat politik, salah seorang pengajar dari salah satu Universitas Paramadina Jakarta di mana wacana soal keberagaman mulai diperbincangkan oleh Alm. Nurcholish Madjid. Saat ini adalah tahun kedua dia memerintah sebagai Wali Kota di kota hujan tersebut. Setumpuk harapan ada di pundaknya. Pun ketika pada tanggal 4 April 2014, tiga hari sebelum hari pelantikannya menjadi Wali Kota Bogor, dengan lantang dia menyebut “Jangan ragukan kesetiaan saya pada konstitusi”. Kita lupakan soal Bima Arya sejenak, marilah kita kembali melihat Bogor.

Bogor, di masa lalu disebut Buitenzorg, dalam bahasa Belanda berarti without sorrow atau out of difficult, dalam arti harfiah sehari-hari, kota Bogor dianggap kota yang nyaman, jauh dari kesukaran. Betapa, pada masa kolonial, Bogor memang disiapkan sebagai tempat yang nyaman untuk beristirahat. Beberapa referensi menyebutkan bahwa pada awalnya Bogor menjadi wilayah interaksi beberapa komunitas, kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling hormat dan toleransi satu dengan yang lain; hidup bersama tanpa konflik. (Ambrosius Harto, 2014 dalam artikel di National Geographic)

Gagasan vs Praktik

Orang-orang bijak pernah mengatakan bahwa visi yang baik, ide-ide yang besar hanya berarti jika dilaksanakan. Mungkin ini yang tidak atau belum terjadi di kota Bogor. Pada masa wali kota Diani Budiarto (2004-2009 dan 2009-2014), ada empat masalah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Prioritas tersebut adalah penanganan transportasi, pedagang kali lima, kebersihan dan kemiskinan. Sebagai birokrat yang mengawali karier panjang di Kota Bogor, ternyata Diani tidak kunjung mampu mewujudkan gagasan besarnya. Sampai saat ini, urusan transportasi di kota Bogor masih menjadi soal tersendiri. PKL mulai ditertibkan, tetapi oleh wali kota penerusnya.

Konsistensi menyambangi masyarakat di beberapa pelosok kota Bogor melalui kegiatan Subuh Keliling tidak lagi cukup. Prestasi yang cukup menonjol dari Diani Budiarto adalah pada tahun 2007 di mana Kota Bogor masuk nominasi sebagai salah satu kota peraih MDG’s Award. Di tahun yang sama, dia mendapatkan kesempatan menjadi salah satu pembicara dalam UNFCC (United Nations Frameworks Convention on Climate Change) yang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali.

Bogor yang dinilai sebagai kota yang “ramah” terhadap segala perbedaan akhirnya memiliki cacat, ketika pada tahun 2008 Wali Kota melarang jemaat GKI Pengadilan Bogor “Bapos” Taman Yasmin untuk beribadah di gereja mereka yang “sah”. Kerasnya Wali Kota melarang mereka tidak lain dan tidak bukan karena desakan kelompok “satu persen” yang tidak toleran. Awal dari penolakan ini muncul dari FUI (Front Umat Islam). Sangat disayangkan, bukan konstitusi atau keputusan tertinggi yang dijadikan alasan, tetapi atas desakan kelompok tertentu. Kita bisa bayangkan, jika hal ini massif terjadi di seluruh Indonesia, tentu kita tidak bisa percaya lagi pada kewibawaan negara dalam hal ini pemerintah.

Diani Budiarto kemudian digantikan oleh sosok muda nan progresif, bergelar doktor dari Universitas di Canberra Australia. Harapan besar tentu saja tertumpah padanya, tidak luput persoalan GKI “Bapos” Taman Yasmin (selanjutnya akan ditulis “GKI Yasmin”). Soal tunduknya pada konstitusi saat ini menjadi pertanyaan besar. Akhir tahun lalu, melalui jajaran pemerintahannya (Satpol PP) dia membubarkan ibadah Natal yang sedianya akan dilaksanakan di gedung gereja yang bertempat di Jalan KH. Abdullah bin Nuh No. 31 Taman Yasmin. Arogansi sebagai Kepala Daerah yang hendaknya memberikan jaminan dan perlindungan pada setiap warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya tumbang oleh perilaku aparat pemerintah kota Bogor. Hal ini bertolak belakang dengan konsep kota HAM yang sering dimunculkan di media oleh Bima Arya, seorang muda nan progresif pengganti Diani Budiarto.

Jadi, asumsi Wali Kota Bogor tersebut progresif nyaris terpatahkan. Dari peristiwa Natal 2014 kita tahu, bahwa Wali Kota Bogor saat ini juga tunduk pada tuntutan golongan satu persen tersebut, salah satunya adalah FORKAMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia). Alasan persoalan internal di GKI dan juga alasan menghindari perpecahan diproduksi terus sebagai legitimasi membenarkan tindakannya, padahal jika ditelusuri lebih lanjut, ketakutan pada tekanan kelompok ekstrem itulah penyebabnya.

Tidak sampai di situ. Minggu ini muncul berita mengherankan, sekaligus mengejutkan beberapa pihak. Wali Kota Bogor, Bima Arya melarang umat Syiah untuk merayakan perayaan Asyura (10 Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriyah). Larangan ini muncul dalam Surat Edaran No. 300/321-Kesbangpol. Menurut sumber yang dapat dipercaya, Bima Arya hadir sendiri saat memberikan surat edaran tersebut. Menurut Ulil Abhsar Abdala, ini adalah pertama kali dikeluarkannya surat semacam ini oleh kepala daerah di era reformasi. Yang menyedihkan, surat edaran ini didasarkan kepada Surat Keputusan MUI Kota Bogor dan desakan beberapa “ormas Islam”, salah satunya adalah FORKAMI. Dan, kita lihat kesamaan polanya. Negara, dalam hal ini pemerintah kota Bogor kalah dengan ancaman para ekstrimis yang mengaku sebagai ormas Islam.

Surat larangan ini sangat disayangkan, sebagai Kepala Daerah, semestinya konstitusi dan UUD 1945 yang menjadi pegangan dan dasar hukum, tetapi Bima Arya menggunakan SK MUI Bogor dan desakan “ormas Islam” menjadi dasar. Tentu, surat edaran larangan ini inkonstitusional, sama halnya dengan penyegelan gereja GKI “Bapos” Yasmin.

Kerja Bersama untuk Toleransi

Konstitusi negara kita telah secara tegas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Terdapat dalam pasal 28E, 28I dan juga pasal 29. Sebenarnya, konstitusi ini dibuat untuk menjamin kebebasan orang beragama dan berkeyakinan. Di masyarakat demokrasi, konstitusi dibuat bukan untuk memenangkan pihak yang lebih besar (mayoritas) tetapi melindungi kelompok yang lebih kecil, rentan (minoritas). Lalu, kenapa wali kota Bogor seperti sulit mengandalkan konstitusi dalam mengambil keputusan strategis dalam isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kerja bersama untuk toleransi memang masih berjalan panjang, hal ini seperti paradox. Karena pada dasarnya, bangsa ini sudah sangat toleran dengan adanya perbedaan. Sebagai negara kepulauan, maka keberagaman dalam banyak hal adalah sebuah keniscayaan. Dan Indonesia bersepakat bahwa pondasi dari negara ini salah satunya adalah Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrawa (Beraneka ragam itu satu, tiada kebenaran ganda). Tetapi, inilah fakta yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, bahwa saat ini ada persoalan di atas kesepakatan yang dibangun bersama kala membangun Indonesia.

Di sini, peran negara sangat dibutuhkan. Regulasi yang tengah dibuat untuk menjaga ketertiban atas keberagaman yang ada hendaknya diikuti oleh kerja keras dalam penegakan hukum jika terjadi persoalan. Saat ini yang terjadi, peran kewargaan dirasa lebih menonjol dibanding pemerintah. Kerja-kerja untuk mewujudkan toleransi dan perdamaian banyak diinisiasi oleh warga negara secara aktif. Berbagai konflik sosial yang terjadi mengajar kita semua, bagaimana peran warga negara menjadi penting untuk mencegah meletusnya sebuah konflik.

Berkaca dari Kota Bogor, kita bisa mempertanyakan kenegarawanan pemimpin daerah tersebut. Karena, di saat itulah seorang pemimpin diuji bagaimana bisa melakukan fungsinya, memberikan pelayanan dan perlindungan secara setara warganya. Sebagaimana seorang negarawan, akan meletakkan segala kepentingan negara (beserta warga negaranya) di atas segala kepentingan kelompok/golongan bahkan kepentingan pribadi. Jangan sampai, para pemimpin daerah di Bogor ini hanya seorang artis politikus, yang akan selalu ke salon sebelum proses pemilihan terjadi.

Woro Wahyuningtyas, Ketua Bidang Sosial Budaya DPP Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home