Loading...
SAINS
Penulis: Sotyati 10:15 WIB | Senin, 23 Mei 2016

Mengapa Harga Bawang Merah dan Cabai Naik-Turun?

Dr Rofik Sinung Basuki. (Foto: Dok Pribadi)

SATUHARAPAN.COM – Harga bawang merah terus naik, dan belum beranjak turun hingga saat ini. Walau Menteri Pertanian sempat menyatakan harga bawang merah berkisar Rp 25.000 per kilogram pada pertengahan bulan, kenyataannya beberapa hari belakangan ini harga bawang merah masih berkisar Rp 30.000 – Rp 35.000 per kilogram. Pada 21 Mei, harga bawang merah di Pasar Jomblang, Bekasi Selatan, bahkan mencapai Rp 60.000 per kilogram.

Fluktuasi harga produk hortikultura, termasuk bawang merah dan cabai, penyebabnya sama. Jumlah barang yang  beredar di pasar konsumen, dapat berlebih atau kurang dibanding permintaannya.  Berlebih, berarti harganya anjlok. Jika kurang, harga akan naik.

Peneliti utama pada Balai Penelitian Tanaman Sayuran Balitbang Pertanian, Dr Rofik Sinung Basuki, menjelaskan harga komoditas yang fluktuatif belakangan ini kepada satuharapan.com.   

Pertama kali ia mengingatkan, bawang merah dan juga cabai, punya pola produksi musiman. Bawang merah, sebagian besar ditanam di lahan sawah. Pada musim hujan Januari  - April, umumnya sawah ditanami padi, hanya sedikit yang ditanami bawang merah. “Akibatnya pada musim hujan itu, Januari – April, tidak ada atau sedikit panen bawang merah. Barang di pasar konsumen sedikit, namun permintaan tetap atau naik, maka harga biasanya naik. Ini pola umum,” kata peneliti utama pada Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Badan Litbang Pertanian, yang menekuni agriculture system itu.

“Untuk cabai, contoh lain, petani biasanya hanya akan menanam sedikit di bulan kemarau Mei – Agustus, karena tidak ada air. Akibatnya, harga cabai biasanya naik pada bulan hujan  Oktober -  Maret, karena barang kosong di pasaran, tidak ada atau hanya ada sedikit hasil panen,” kata Dr Sinung, yang meraih gelar doktornya di University of Reading United of Kingdom (Inggris) pada 1994.

Petani di dataran medium hingga dataran tinggi, biasanya menanam cabai pada bulan Februari – Maret karena ada hujan, dan akan panen pada bulan Mei - Agustus. “Namun, karena yang panen banyak, maka pada bulan-bulan itu harga cabai terendah pun terjadi,” ia menjelaskan.

Fluktuasi Harga karena Kondisi Khusus 

Selain itu, Rofik Sinung Basuki juga mengingatkan ada kondisi khusus yang membuat harga berfluktuasi. Ia mencontohkan kerusakan bawang merah atau cabai karena hujan, yang tidak diprediksi, “Ini pun menyebabkan pasokan turun dan harga jadi naik. Juga jika terjadi ledakan hama penyakit atau kekeringan yang menurunkan produksi itu juga menyebabkan harga naik.”

Keadaan seperti itu, dikombinasi dengan kenyataan cabai, misalnya, yang tidak bisa disimpan. Cabai segar harus segera dijual habis pada hari yang sama, atau paling telat hari berikutnya. Kalau tidak laku, cabai mulai rusak. Makanya harga murah pun akan dilepas untuk mencegah kerusakan dan diganti stok baru.

Bawang merah setali tiga uang. Panen segar, disimpan tiga hari bisa susut 30 persen. Jika disimpan lebih dari tujuh hari, susut lebih dari 50 persen. Dengan demikian, petani diperhadapkan untuk segera menjual secepat mungkin. Di samping menghindari kerusakan, juga kebutuhan cash untuk membayar utang modal tanaman berikutnya.

“Bayangkan, kalau petani Brebes panen raya, harga pasti jatuh. Tidak ada petani atau hanya sedikit yang mampu menahan barang. Dinamika fluktuasi harga cabai bawang itu dinamis. Walaupun ujung-ujungnya masalah supply demand-lah yang menentukan.

Fultuasi Produksi Kendala Terbesar Pertanian Hortikutura

Rofik Sinung Basuki mengakui fluktuasi produksi karena musim masih menjadi kendala terbesar dalam budidaya hortikultura di negeri ini. Pengolahan pascapanen masih terbatas.

Sebagian besar produk bawang merah dan cabai masih dijual dan dikonsumsi segar. Hanya sedikit yang dikonsumsi dalam bentuk olahan seperti bawang goreng dan sambal.

Pemasaran dari  sentra produksi ke pasar induk konsumen sebenarnya cukup efisien. Paling tidak dari sentra produksi Brebes, contohnya, ke Pasar Induk Kramat Jati, hanya lewat satu pedagang perantara.

“Yang perlu mendapat perhatian adalah rantai pasar dari Pasar Induk Kramat Jati ke tangan konsumen, yang mungkin masih harus melalui tiga – empat pedagang. “Pedagang-pedagang perantara itu, termasuk pengecer, hingga tukang sayur keliling, harus diperhatikan berapa mengambil keuntungan,” kata pria asal Malang yang berkantor di Lembang, Bandung itu. 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home