Loading...
OPINI
Penulis: Gracia Asriningsih 00:00 WIB | Senin, 21 Maret 2016

Menggugat Sensor

SATUHARAPAN.COM - Tanggal 16 Maret 2016, sebuah film tentang sebuah Pulau Buru Tanah Air Beta yang tanpa adegan porno apalagi kekerasan, telah dilarang oleh pemutarannya disebuah pusat kebudayaan oleh Polsek Menteng, hanya karena film ini memuntahkan kebenaran. Hersri Setiawan masih juga berjalan di padang sunyi pulau Buru, dengan suaranya yang bergetar mengisahkan kekejaman penindas militer yang menghukumnya sepuluh tahun bersama dua belas ribu orang lainnya dengan romusha versi orba, kepada anak perempuannya.

Kali ini semangat Hesri yang tak pernah padam selama 50 tahun tersingkap dalam kamera Rahung Nasution, yang berkata ini caranya membayar hutang pada kebenaran. Komnas HAM akhirnya menjadi tempat pengungsian untuk pemutaran film ini karena pengabdian untuk perlindungan warga negara rupanya sudah dievakuasi dari Polsek menteng.  Pemutaran film ini  dihadiri oleh anak-anak muda para pemilih pemula negara ini, yang rela berdesakan, untuk sekedar mendengar orang berpetuah ‘semoga bangsa ini lekas sembuh.’

Tanggal 5 Desember 1930 Joseph Goebbels, salah satu tangan kanan Hitler, bersama pasukannya melemparkan bom asap pada pemutaran film "All Quiet on the Western Front," untuk menghentikannya, kemudian memukuli penonton yang berusaha memprotesnya. Film ini dibuat berdasarkan novel tentang kekejaman dan absurditas perang, maka harus dicekal oleh Nazi.  Ternyata kenyataan kita tak jauh dari ini.

Mulai  Desember 2014, sepanjang 2015, sampai hari ini, kita melihat bagaimana kelompok masyarakat bersama aparat menghentikan dengan paksa pemutaran film Senyap karya Joshua Opphenheimer, di antaranya di Yogyakarta, Malang dan Padang. Ironisnya film itu justru mendapatkan nominasi film dokumenter terbaik Oscar. Belum lagi diskusi-diskusi sejarah tentang 1965 di universitas-universitas, dan yang masih hangat adalah pembubaran belok kiri festival di TIM oleh polisi, meskipun dihadiri oleh Dirjen Kebudayaan.

Lembaga sensor film menyatakan bahwa film Senyap ini ditolak seutuhnya untuk dipertontonkan kepada khalayak umum. Meskipun Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Dewan Kesenian Jakarta, mengucapkan selamat dan sukses  atas penayangan  perdana film ini dan Komnas HAM mengadakan program ‘Indonesia Menonton Senyap’ sebagai bagian kerja pendidikan HAM, lembaga sensor ternyata masih menjadi lembaga warisan orde baru yang kadaluarsa, sementara polisi penjaga ketertiban justru mengayomi para pembuat onar. Kita melihat bagaimana satu kelompok kecil masyarakat bisa memaksakan diri untuk menjadi lembaga sensor bagi yang lain.

 Pencekalan sebuah film karena alasan politis, bukan hal baru di Indonesia, di antaranya film Romusha (1972), Yang Muda Yang Bercinta (1977), The Year of Living Dangerously (dilarang dari 1982  hingga 1999), dan yang paling menggelikan, adalah film komedi Kanan Kiri OK (1989). Walau jauh dari politik, film  itu dipaksa mengganti judul dari Kanan Kiri OK karena kata 'Kiri' diartikan komunis. Kontroversi  justru membuat orang makin ingin menonton. Dan kita tahu, film yang dilarang di Indonesia akan tetap diunduh atau dibeli DVD palsunya. Sehingga pelarangan film hanya menunjukkan siapa orang-orang yang masih paranoia dan menghalangi kebebasan untuk memperoleh informasi.

Penguasa yang labil dan merasa terancam ini membayangkan bahwa sebuah film akan mengakibatkan kehancuran  dari  propaganda yang telah dibangunnya sendiri, sehingga memilih untuk menjauhkan sebuah film dari publik daripada mengambil risiko dan mendorong debat dan diskusi yang, dalam konteks film Senyap, kebenaran sejarah tentang peristiwa 1965. Menurut penyensor ini kebenaran sebaiknya tetap disembunyikan saja. Film yang penuh kekerasan boleh ditonton bahkan secara bebas di televisi dalam 24 jam tanpa pembatasan umum, asal tidak membahayakan kekuasaan mereka.

Sensor  film Senyap mengasumsikan bahwa penonton tidak akan mampu mengelola perasaan dan pikirannya ketika menonton film ini dan dalam bayangan penyensor, akan sedemikian bodoh, membabi buta dan kemudian membenci kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini pelaku pembantaian 1965.  Penonton Senyap, yang dalam hal ini adalah mahasiswa karena pemutaran diadakan di kampus-kampus, bukan di sekolah dasar seperti Film G30S PKI, dianggap belum mampu secara intelektual untuk menonton film ini dan menilai dengan pengetahuan dan kesadaran sendri, kemudian berpikir  independen. Dalam film Pulau Buru Tanah Air Beta  kita justru belajar bagaimana transmigran jawa dari tahun 70 an telah bekerja dan hidup bersama dengan tapol dan keluarganya.

Penyensor tidak menyadari bahwa dengan melarangnya, ia justru sebenarnya sedang membenarkan konten film-film itu, karena ia tidak ingin masyarakat mempertanyakan sejarah yang selama ini dipaksakannya. Hal ini hanya menandakan kegagapan dan kegugupan pemerintah yang tak mampu mengakui kejahatan masa lalunya, dan memilih diam sambil membangun jalan tol tanpa menghiraukan bahwa membangun jembatan ke masa lalu adalah cara memuliakan bangsa ini.

Pertanyaan untuk kita adalah apakah kita  juga akan menyensor diri kita sendiri dengan tidak menonton sebuah film hanya karena film tersebut dilarang satu pihak? Atau kita menyensornya secara tidak langsung dengan menganggap bahwa sebuah film tentang sejarah tidak begitu penting untuk kita tonton. Apakah menjadi apatis adalah pilihan?

 

Penulis adalah penyair, bekerja sebagai penerjemah bebas.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home