Loading...
ANALISIS
Penulis: Samsudin Berlian 00:00 WIB | Jumat, 20 Januari 2017

MUI Berhak Mengkafirkan Siapa Saja

Fatwa MUI merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang harus dilindungi. Namun ketika dijadikan alasan melakukan tindak kekerasan, apalagi dijadikan bagian dari hukum negara, maka di situ demokrasi sedang dipertaruhkan.

SATUHARAPAN.COM - Tentu saja Majelis Ulama Indonesia, atau siapa pun, berhak menyatakan bahwa orang atau atribut Kristen atau yang dianggap Kristen adalah kafir. Bahkan, ia pun berhak menyatakan bahwa orang atau atribut Islam atau yang dianggap Islam aliran tertentu adalah kafir. Sesungguhnya, MUI berhak menyatakan siapa pun atau apa pun kafir.

Sebagai pemikiran, pendapat bahwa orang atau atribut tertentu adalah kafir termasuk di dalam perlindungan hak asasi manusia. Setiap orang berhak berpikir menurut hati nuraninya sendiri. Tidak penting apakah ada orang lain yang menganggap pemikiran tersebut keliru atau bodoh. Setiap orang berhak berpegang teguh kepada kekeliruan atau kebodohannya sendiri. Setiap orang juga berhak menganggap orang lain keliru atau bodoh. Dan setiap orang pun berhak menganggap orang yang menganggap orang lain keliru atau bodoh itu sendiri adalah keliru atau bodoh. Tiada batas.

Sebagai pandangan yang dinyatakan, ia termasuk ke dalam hak menyatakan pendapat, hak asasi yang dilindungi hukum internasional dan hukum nasional kita, karena kita sudah meratifikasi semua hak-hak asasi itu. Setiap orang berhak menyatakan pendapat apa pun. Termasuk pendapat yang dianggap bodoh atau keliru.

Bahwa kemudian pernyataan MUI itu, yang dinamai fatwa, dijadikan alasan oleh pihak-pihak lain untuk melakukan tindakan melawan hukum, itu bukan urusan MUI. Boleh saja ada orang menyatakan bahwa MUI harus menyadari akibat negatif yang ditimbulkan fatwanya. Akan tetapi MUI tidak wajib menyadarinya. Dan andaikata sadar, tidak wajib menahan diri hanya karena kekhawatiran akan akibat negatifnya, yang mungkin terjadi atau tidak. MUI juga tidak ikut bertanggungjawab atas tindakan pihak lain, biar pun pihak lain itu mengatasnamakan MUI.

Ketika organisasi-organisasi seperti Front Pembela Islam menggunakan fatwa MUI sebagai alasan untuk melakukan gangguan terhadap kenyamanan orang-orang Kristen atau pihak lain yang netral yang menggunakan atribut-atribut yang dianggap Kristen seperti pohon terang dan pakaian Santa Claus, dengan sweeping atau tindakan-tindakan lain, itu sepenuhnya adalah perbuatan FPI sendiri. Petugas dan pejabat keamanan, terutama polisi, adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk menahan, menghambat, dan menangkapi anggota-anggota FPI yang sedang atau telah mengganggu ketertiban umum itu. Apabila hal itu tidak dilakukan, itu bukanlah kesalahan MUI, melainkan negara, khususnya polisi.

Apabila pejabat atau polisi mengambil dan melaksanakan kebijakan-kebijakan berdasarkan fatwa MUI, itu pun bukan urusan MUI. Pejabat dan polisi, serta pihak mana pun yang digaji oleh negara, dengan uang pajak dari seluruh rakyat Indonesia, baik yang Islam, Kristen, maupun penganut agama-agama lain serta yang tidak beragama, telah diberikan wewenang, mandat, dan kewajiban untuk melaksanakan tugas mengikuti petunjuk, hukum, atau peraturan resmi negara. Fatwa MUI bukan produk negara. Karena itu, ketika ada pejabat dan polisi yang mendasarkan kebijakan dan tindakan mereka pada fatwa MUI, negara harus mengambil dua tindakan cepat, pertama, menghentikan dan membatalkan kebijakan dan tindakan tersebut serta mereparasi kerusakan yang telah timbul apabila ada, dan, kedua, memberikan sanksi yang relevan kepada pejabat atau polisi yang telah berbuat di luar wewenang dan tanggungjawabnya itu.

Apabila ada orang atau lembaga Kristen yang tersinggung atas label kafir terhadap diri mereka, mereka bisa mengambil berbagai pilihan tindakan. Mereka bisa membalas. Ini bukan tindakan ideal, tapi selama balasan itu berupa pernyataan pendapat juga, itu adalah hak mereka. Hanya saja, tidak sulit membayangkan bahwa apabila hal sedemikian terjadi di dalam masyarakat Indonesia sekarang ini, akan timbul gejolak berpotensi kekerasan yang sangat besar. Karena itu, apabila sampai terjadi balas-membalas, negara bisa untuk sementara, demi kebaikan umum, mengeluarkan peraturan sementara untuk melarang pernyataan-pernyataan balas-membalas seperti itu. Sifatnya harus sementara, karena untuk jangka panjang, pemberangusan hak pendapat akan mengikis demokrasi dan hak-hak asasi. Akan tetapi, syukurlah bahwa hal semacam ini tidak terjadi. Baik PGI maupun KWI, serta lembaga-lembaga agama lain, tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang beranalogi dengan pengkafiran umat beragama lain. Karena itu, negara sejauh ini tidak perlu mengekang kebebasan pendapat ini, termasuk pendapat MUI bahwa Kristen itu kafir.

Orang Kristen bisa diam saja. Dalam keadaan panas seperti sekarang, ini mungkin bisa dianggap bijaksana. Atau mereka bisa juga membuktikan ajaran Tuhan mereka. Ada di dalam kitab suci mereka ayat-ayat seperti, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu”, “jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum!” dan banyak lagi yang jiwanya serupa itu. Perbuatlah demikian.

Namun, negara tidak boleh diam saja. Yang bisa dan harus dilakukan negara, seperti telah disinggung di atas, adalah mengambil tindakan hukum terhadap organisasi non-negara pelaku sweeping dan lembaga atau pejabat negara yang mengambil kebijakan atau tindakan berdasarkan fatwa MUI yang bukan produk negara.

Pelaku sweeping boleh diberangus sebab itu adalah tindakan gangguan terhadap ketertiban dan kenyamanan publik yang sudah diatur di dalam sistem hukum negara Indonesia. Pandangan keagamaan mereka tidak usah dan tidak perlu dipermasalahkan. Mereka berhak berpegang pada pandangan apa pun. Mereka pun berhak menyatakan pandangan mereka. Tapi mereka tidak berhak mengganggu orang lain dengan alasan apa pun, termasuk dengan alasan fatwa MUI. Karena gangguan fisik itulah, terhadap tubuh atau bangunan atau harta milik orang-orang yang dianggap kafir itu, negara harus bertindak menangkap para pelaku.

Apakah hanya pelaku di lapangan yang tertangkap tangan atau ada sanksi organisasinya juga? Banyak orang ingin FPI dibubarkan. Tapi sebagai organisasi non-negara FPI berhak hidup seperti halnya MUI atau PGI atau KWI. FPI tidak boleh diganggu dengan cara apa pun hanya karena pandangan keagamaannya. Hanya apabila FPI sebagai organisasi menyerukan tindakan-tindakan pelanggaran hukum, misalnya, menyuruhbunuh, menyuruhhancurkan, mengajakrusuh, dan atau semacam itu, barulah ia bisa diperkarakan. Bukan dibubarkan tapi diperkarakan di pengadilan. Pengadilanlah yang kemudian memutuskan apakah benar ia bersalah dan hukuman apakah yang pantas dijatuhkan, termasuk pemenjaraan, denda, dan pembubaran.

Pejabat negara, termasuk polisi, yang mengambil kebijakan atau tindakan berdasarkan fatwa MUI harus segera diperiksa karena ini patut diduga adalah salah satu wujud perlawanan atau pembangkangan (selain ketidaktahuan, kebodohan, kerancuan, atau kebingungan) terhadap negara. Kebijakannya yang telah diambil harus langsung dibatalkan. Tindakannya dihentikan dan apabila telah menimbulkan gangguan umum, negara harus aktif meminta maaf, mengganti rugi, dan atau mengambil tindakan-tindakan reparasi dan rehabilitasi seperlunya. Pejabatnya sendiri harus diperiksa secara resmi untuk memastikan alasannya menggunakan wewenang dan fasilitas negara untuk mewujudkan sesuatu yang bukan berdasarkan kehendak publik. Apabila bersalah, sanksi yang dijatuhkan harus diketahui umum.

Ada pun mengenai MUI, sekali lagi, ia berhak mengkafirkan atau menajiskan siapa pun dan apa pun yang dikehendakinya berdasarkan pendapatnya dengan mengikuti hati nuraninya sendiri, termasuk imannya. Sesungguhnya, biar pun ada ulama-ulama—termasuk mereka yang sudah puluhan tahun diakui sebagai ulama besar berilmu dan beriman tinggi dan dalam—yang tidak sepakat dengan pandangan MUI, adalah tidak pantas menghinakan atau menistakan atau mempermalukan MUI atas pandangannya itu. Bahkan, mungkin seharusnya ada kekaguman bahwa MUI begitu berani menyatakan pendapat yang berseberangan dengan pandangan umum, dengan posisi pemerintah, dan dengan organisasi-organisasi Islam raksasa seperti NU dan Muhammadiyah.

Lain halnya apabila MUI misalnya menggunakan fasilitas pihak-pihak yang dinyatakannya kafir demi kepentingannya sendiri. Menggunakan fasilitas pemda, misalnya, yang berarti memanfaatkan uang pajak yang sebagian dibayarkan kafir kepada negara untuk kepentingannya. Atau mengeluarkan keputusan yang membantu keberhasilan atau keuntungan kafir atau perusahaan kafir, misalnya, dengan membantu melariskan produk-produk jualan kafir. Kalau misalnya hal-hal itu terjadi, yang tentunya dalam kenyataan patut diduga tidak pernah terjadi, barulah integritas moral dan keagamaan MUI mungkin bisa dipertanyakan. Kalau hanya sejauh berfatwa kafir, itu adalah haknya yang harus dibela semua orang. Sebab intisari demokrasi dan toleransi adalah bahwa kita membela hak orang atau pihak lain untuk menyuarakan pendapat yang tidak kita setujui.

Justru demokrasi yang layak menyandang nama demokrasi sejati mestilah cukup kuat dan tangguh untuk menghadapi pandangan-pandangan yang berbeda, bahkan yang dianggap sektarian atau memecah-belah. Demokrasi yang langsung ambruk begitu ada pendapat yang merongrong demokrasi tidaklah berharga. Itu otoritarian atau diktatorian atau tirani, yg memang existensinya melulu didasarkan pada pemberangusan pandangan-pandangan berbeda. Tapi demokrasi justru memasukkan perbedaan dan bahkan pertentangan ke dalam dirinya sendiri. Melalui pengasahan dan pergesekan perbedaan-perbedaan itulah demokrasi sejati bertumbuh dan berkembang menjadi makin kuat dan matang.

 

Penulis adalah peminat bahasa

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home