Loading...
ANALISIS
Penulis: Teuku Kemal Fasya 00:00 WIB | Rabu, 18 Januari 2017

Buku Berdusta

Kontroversi buku Jokowi Undercover mungkin sudah berlalu. Tetapi ada pelajaran yang patut dipetik: jangan pernah sembarangan menulis buku!

SATUHARAPAN.COM - Menulis buku bukan saja pekerjaan besar tapi juga sakral. Tujuannya bukan saja memberikan informasi tapi lebih jauh lagi : menyerukan kebenaran! Penggunaan metodologi atau epistemologi hanya agar kebenaran itu tersampaikan dengan kaidah-kaidah ilmiah.

Itu pula alasan kenapa buku yang saya publikasi tidak sebanyak artikel opini dan esai. Menulis buku seperti berlari maraton sedangkan menulis artikel adalah jogging untuk lima-enam kilometer plus pemanasan dan pendinginan. Meskipun proses kebugaran harus dimiliki sebelumnya, yaitu kesadaran akan masalah, aspek referensial harus telah terendap yang berasal dari bacaan kapan dan entah di mana. Makanya keduanya memiliki derajat keilmiahan dan keterbacaan (readability) yang tidak boleh sepelekan.

Ketika menulis, saya harus berpikir publik mana yang akan membacanya. Tentu saya akan menyasar pembaca yang nyaman dengan tulisan itu. Saintifisme – istilah yang kini mulai jarang digunakan yang dulunya dipopulerkan oleh Karl Popper – adalah syarat yang tidak boleh dikerutkan oleh apapun ketika kita menulis artikel apalagi buku. Tiga unsur itu adalah data/fakta, analisis, dan bahasa. Data/fakta menunjukkan yang kita tuliskan memiliki pijakan empiris-faktualnya. Analisis adalah paradigma yang menunjukkan seberapa dalam dan reflektif tulisan itu. Bahasa tentu saja adalah terminal terakhir.

Menulis bukan hanya mengguratkan kata-kata. Harus ada yang melampaui diksi, frasa, dan kalimat langsung. Fungsi konotasi dan metafora berjalan merapat di dalamnya. Tulisan harus memiliki kebugarannya dengan sastra, jouissance (gairah dan imajinasi libidinal), dan retorika. Menulis adalah pilihan untuk menunda hilangnya ide karena bukan sekedar ceramah atau diskusi. Dalam pepatah Latin disebut Vox audita perit, scripta littera manet. Suara yang diembuskan akan hilang, tapi kalam yang dituliskan akan berkekalan.

 

Buku Baik

Makanya ada buku yang selalu saya baca berulang-ulang atau saya cari lagi untuk dipandang dan direnungkan. Sebut saja buku Semiotika Negativa (2002) atau buku kecil Opera Tanpa Kata (2003) karya St Sunardi yang selalu ada di dalam tas. Saya juga takjub buku Cendiakawan dan Kekuasaan (2003) karya Daniel Dhakidae atau Sejarah Estetika (2016) karya Martin Suryajaya. Dua buku ini berkemilau bukan saja karena dipersiapkan bertahun-tahun tapi juga keketatan analisis dan referensinya.

Untuk buku asing terjemahan yang membuat saya hanyut dan tak berhenti membaca hingga tamat di antaranya Sisi Balik Senyap (The Other Side of Silence,2002) karya Urvashi Butalia atau Civil Islam (2001) karya William Hefner. Pendekatan etnografis yang digunakan dua penulis itu mengasyikkan. Kisah-kisah sejarah pilu itu hidup bak novel.

Buku “posmo” yang juga sering saya bolak-balik adalah The Archeaology of Knowledge karya Michel Foucault atauTravels in Hyperreality karya Umberto Eco. Buku Foucault mencengangkan karena dokumen berbilang milenium dengan mudah saja dijadikan referensi dan dihadirkan secara kronologis. Adapun buku Umberto Eco begitu tipis antara penyampaian analisis atau sedang berpuisi. Ia seperti sedang berfilsafat rebellion – memakai istilah Jean Baudrillard – yang memperlihatkan dunia teknologi baru yang meriah sekaligus membingungkan. Buku-buku baik seperti itu secara tak sadar memengaruhi hidup saya. Tidak akan saya pinjamkan kecuali dengan catatan pengingat untuk segera dikembalikan. 

Tapi demi membaca buku Jokowi Undercover, selera membaca langsung rusak. Semua hal dari aspek data/fakta, analisis, dan bahasa berantakan. Analisis tentang Jokowi bukan anak dari ibunya hanya didasarkan pada spekulasi foto yang dicocok-cocokkan secara serampangan. Tuduhan Jokowi anak PKI juga tidak ada referensi atau kutipan wawancara. Pada kata pengantar, sejarah Marxisme ditulis tanpa anotasi. Padahal nama-nama seperti Lenin, Mao Tse Tung, Tan Malaka, dan Ho Chi Minh digunakan dan diulas pemikirannya. Seolah-olah si penulis sedang memberikan informasi denotatif bak melihat buah delima di pohon atau menghitung tusuk sate.

Bukunya penuh opini subjektif yang tidak mempertimbangkan nasib pembaca yang punya otonomi sendiri. Buku yang dibaca selalu ada fungsi différance – memakai istilah Jacques Derrida yaitu membedakan (to differ) dan menunda (to defer). Teks yang terbaca tidak langsung serta-merta diterima.

Namun buku itu sedemikian lancang mempermainkan kalimat-kalimat seolah-olah bisa menembus sesuka-hati kesadaran pembaca tanpa memfilter apa yang dibaca. Pembaca dicoba digiring pada simulacra “fakta” tanpa referensi, hanya bergelayut pada subjektivisme-ekstrem. Jika ingin disebut fiksi, bahasanya tidak kuat. Tidak ada metafora yang mampu menggeser logika denotatif kecuali caci-maki mengerikan sekaligus menggelikan.

Si penulis lupa, bahwa ketika ia menuliskan sesuatu, takdir selanjutnya adalah mati! Pembaca lah yang kemudian lahir di atas nisannya - memakai perspektif Roland Barthes : the death of author. Memberikan sajian dengan tulisan “cabul” seperti itu secara informatif tidak mengenyangkan dan secara imajinatif banal. Testimonial literasinya delusif, karena bahasanya secara semantik dan sintagmatik tidak teratur.

Saya sudah berhenti membaca buku itu pada 10 halaman pertama. Namun saya terpaksa harus membaca beberapa halaman lagi termasuk melihat bagian akhir tulisan untuk menghadirkan tulisan ini. Kesimpulannya, penulis sudah membuat sakit pembaca akibat politik psikopatologi tekstualnya. Tulisan itu tidak memberikan apa-apa bagi pembaca kecuali pamer bahasa kasar.

 

Sesal Kemudian

Jangan bandingkan dengan buku provokatif lain, yang juga pernah membuat rejim sebelumnya memerah kuping. Buku Membongkar Gurita Cikeas karya almarhum George Junus Aditjondro memang kontroversial. Buku dengan pendekatan politik-ekonomi khas GJA itu mampu membingkai kesimpulan tentang dinasti Cikeas, meskipun kesulitan mendapatkan dokumen-dokumen asli yang pasti ditutup rapat oleh penguasa. Ia bisa gunakan data-data publikasi media untuk merasionalisasi argumentasinya termasuk wawancara masyarakat sekitar.

Apa yang disebut GJA di dalam bukunya itu terbukti kemudian hari. Seperti tanah yang diborong sebelumnya di daerah Cikeas dari masyarakat, kemudian dijual para “tengkulak tanah” dengan harga berkali-kali lipat kepada tim dekat rejim tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memacakkan “Astana Giribangun”-nya di sana. Demikian pula tali-temali kekerabatan dari saudara, ipar, istri, dan anak mengisi ruang-ruang rejim di partai politik dan mega bisnis.

Sebagian dari kita mungkin juga melihat fakta-fakta itu. Namun GJA lah yang mengorkestrasi fakta dan data itu menjadi sebuah “pengetahuan” bagi pembaca. Ia bukan saja melihat apa-apa yang tidak terlihat oleh mata awam, tapi sekaligus mempertajam dan menggebraknya secara retoris.

Sebenarnya buku Jokowi Undercover telah berhenti sebagai “drama”. Sang penulis sudah diperiksa polisi dan ia telah meminta maaf kepada Jokowi dan ibundanya agar tidak dipidana. Hal ini tentu saja aneh bagi seorang penulis berintegritas. Ketika kita menuliskan sesuatu, tulisan itu telah menjadi anak-anak kebenaran. Tulisan itu harusnya dibela penulisnya hingga titik darah penghabisan.

Pramoedya Ananta Toer rela dibuang ke Pulau Buru dan tak mundur sedikit pun ketika bukunya dibredel. Ketika naskah-naskah novelnya diseludupkan keluar dan sialnya tertangkap oleh sipir kemudian dibakar, ia tak putus asa. Pram kembali menulis ulang kisah itu dari awal, bahkan semakin menyala. Sikap lembek sang penulis yang langsung mengaku salah adalah sinyal bahwa yang ditulis memang tidak meyakinkan. Ia tidak menghasilkan tulisan yangreaderly apalagi writerly. Tulisan itu hanya stensilan propaganda untuk masyarakat tuna literasi.

Sesungguhnya buku lahir untuk menyajikan kebenaran, paling tidak menurut versi penulisnya. Jangan pernah selewengkan buku untuk berdusta. Karena jika itu dilakukan, buku itu akan menelanmu bulat-bulat. Sehina-hinanya.

 

Penulis adalah kolumnis. Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh.

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home