Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 19:55 WIB | Rabu, 05 November 2014

MUI: Perkawinan Beda Agama Bentuk Ketidaktaatan

M. Lutfi Hakim perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) saat memberikan pandangannya dalam sidang lanjutan uji materi UU Perkawinan, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (5/11). (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lutfi Hakim, perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) di Mahkamah Konstitusi mengatakan perkawinan beda agama lebih merupakan sebuah bentuk ketidaktaatan seseorang terhadap aturan agamanya ketimbang sebuah kebutuhan masyarakat yang menurut pemohon melanggar hak konstitusi warga negara.

“Perkawinan beda agama lebih merupakan bentuk ketidaktaatan seseorang terhadap aturan agamanya, daripada kebutuhan masyarakat yang menurut Pemohon melanggar hak konstitusi warga negara,” kata Lutfi Hakim dalam sidang lanjutan uji materi UU Perkawinan, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (5/11).

Luthfi Hakim juga menyatakan warga negara Indonesia harus mengaplikasikan nilai agama yang diakui di Indonesia berdampingan dengan norma hukum nasional yang berlaku, sebagaimana yang terkandung di dalam Konstitusi dan Pancasila.

Dalam kaitannya dengan dengan UU Perkawinan, hal itu berarti perkawinan hanya dapat dilaksanakan dan sah bila dilaksanakan menurut suatu aturan agama.

Menurut dia, para Pemohon seharusnya mempelajari sejarah panjang perdebatan UU Perkawinan yang menjadi perdebatan di masa lalu. Karena apa yang menjadi pokok-pokok permohonan sebetulnya telah dibahas dalam perumusan UU tersebut sehingga tidak perlu lagi ada permohonan uji materi yang membahas hal serupa.

“Melalui perdebatan panjang pada saat pembahasan UU tersebut di tahun 1973 dan disetujui secara aklamasi, pada tahun 1974, UU Perkawinan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang. Seharusnya para Pemohon bersyukur berada di negara yang menghormati aturan agama bukannya mempertanyakan aturan agama dalam Konstitusi,” kata dia.

Pendapat senada disampaikan Ahmad Ishomaddin yang mewakili Pengurus Besar Nahdhlatul Ulama (PBNU). Ia menyatakan bahwa UU Perkawinan sudah secara sah mengatur mengenai perkawinan di Indonesia, karena nilai di dalamnya sesuai dengan norma dan ajaran agama Islam.

“Oleh karena itu, PBNU memohon Majelis Hakim Konstitusi untuk menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ahmad.

Sidang uji materi UU Perkawinan yang terlaksana pada Rabu (5/11) merupakan lanjutan dari sidang sebelumnya yang menghadirkan PP Muhammadiyah dan Front Pembela Islam (FPI) untuk memberi keterangan di hadapan Majelis Hakim. Sidang kali ini menghadirkan Pihak Terkait dari MUI, PBNU, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi).

Gelar sidang lanjutan tentang uji materi UU pernikahan beda agama akan dilanjutkan kembali pada Senin (24/11), dengan agenda mendengarkan pendapat dari agama Kong Hu Cu dan Hindu pada pukul 11.00 WIB. (mahkamahkonstitusi.go.id)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home