Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 10:58 WIB | Senin, 03 Maret 2014

Musik Perlawanan di Suriah

ISIS disebut kelompok gerakan perlawanan sipil Suriah sebagai alien. (Foto: freemuse.org)

SATUHARAPAN.COM – Musik telah menjadi inti pemberontakan Suriah sejak awal 2011. Karena alasan yang sama musisi telah tewas dan dibungkam dengan kekerasan. Ini adalah bagian dari upaya memaksakan agenda politik dan agama, lapor aktivis Spanyol – Suriah Leila Nachawati, seorang profesor Komunikasi di Universitas Carlos III, seperti diberitakan pada Minggu (2/3).

“Get out, Bashar. Bashar, you’re a liar. To hell with you and your speeches. Freedom is at the door. Get out, Bashar.”

(Enyahlah, Bashar. Bashar, kau pembohong. Persetan denganmu dan pidatomu. Kebebasan di depan pintu. Enyahlah, Bashar.)

Ini adalah baris pertama lagu menarik yang menjadi lagu kebangsaan pemberontakan Suriah sejak orang Suriah turun ke jalan Maret 2011,"Yalla irhal, ya Bashar." Ini adalah lirik kegelisahan yang bergema dalam tuntutan demonstran setelah empat dasawarsa di bawah kendali rezim Bashar al Assad.

Penyanyi folk Ibrahim Kashoush memimpin demonstrasi anti  rezim di Hama dengan suara serak dengan musik beat yang stabil  sampai dengan Juni 2011. Beberapa hari kemudian setelah demonstrasi terbesar yang pernah diadakan di Suriah, dia ditemukan mati mengambang di sungai Orontes dengan tenggorokan terbelah.

Pembunuhan Kashoush adalah pesan jahat yang bisa terjadi pada siapa saja berbicara menentang keluarga penguasa Suriah. Tetapi itu tidak membungkam orang-orang yang menyanyikan 'Yalla irhal' (lagu revolusi Suriah) di jalan-jalan maupun aktivis yang terlibat dalam kampanye kreatif untuk mendorong penguasa gila.

Sebuah animasi yang disebut jaringan media Libanon Kharabeesh sebagai 'The Voice of Resistance' (Suara Perlawanan) menggambarkan cara pengeras suara memutar musik revolusioner yang tersembunyi di jalan-jalan dan di gedung-gedung pejabat pemerintah, memperkuat suara Kashoush.

Awal pemberontakan menjelaskan penganiayaan musisi, penyair, dan seniman Suriah. Di antaranya kartunis satir Ali Ferzat, yang tangannya patah saat penangkapan. Dia salah satu target utama rezim Suriah karena merintis gerakan sipil.

Mobilisasi kreatif segala bentuk, termasuk aksi duduk, kampanye pembangkangan sipil, spanduk, kartun, grafiti, dan puisi, mendapatkan momentum di ruang publik maupun online.

Dinding ketakutan dan keheningan sepanjang dasawarsa membangun kerusakan dalam hitungan minggu. Bahkan ketika rezim menampilkan kebrutalan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perbedaan pendapat yang damai. Musik yang memobilisasi dan membangkitkan semangat merupakan inti gerakan sipil, semakin sulit membisu.

"Kamu Perlu Kebebasan Seni Sejati"

Dalam kata-kata pianis Suriah Malek Jandali, "diktator, pada umumnya, takut seni dan musik, karena itu menelusuri kebenaran dan keindahan."

Jandali menjelaskan cara berkesenian Suriah dikendalikan keluarga yang sedang berkuasa. Hal itu dimulai dengan lagu kebangsaan.

“Syria’s coast is home to the world’s oldest music notation, and the Ugaritic alphabet, which is thought to be the civilization’s first alphabet. But instead of paying homage to the country’s rich history, the national anthem begins with a reference to the military, the “guardians of the homeland”. Why don’t we talk about Syrian inventions like the alphabet and music, instead of military forces and war?”

(Pantai Suriah adalah rumah bagi notasi musik tertua di dunia, dan aksara Ugaritic, dianggap abjad pertama peradaban. Tetapi bukannya memberi penghormatan kepada sejarah negara yang kaya, lagu kebangsaan dimulai dengan rujukan ke militer, penjaga tanah air. Mengapa kami tidak berbicara tentang penemuan Suriah seperti aksara dan musik, bukannya kekuatan militer dan perang?)

Rumah keluarga Jandali digeledah dan orang tuanya dipukuli sebagai pembalasan atas musiknya. Dia mengatakan revolusi Suriah memungkinkan lahirnya generasi seniman, melepaskan diri dari tradisi panjang propaganda resmi yang tertanam dalam seni.

"Itu bukan seni. Kamu perlu kebebasan untuk mencipta. Kamu perlu kebebasan untuk seni sejati, pengetahuan dan budaya, inovasi dan kemajuan. Tanpa kebebasan, tidak ada."

Penelusuran keindahan yang Jandali perkenalkan tersebar ke seluruh genre musik Suriah dan gaya. Dari lagu-lagu folk yang tanpa teratur diucapkan pada waktu demonstrasi untuk catatan piano klasiknya  ‘Suriah Anthem of Free' (Lagu Kebangsaan Pembebasan Suriah).

Hal ini juga meluas ke genre musik yang dikenal dengan norma-norma sosial menantang, seperti heavy metal dan hip hop.

Pemujaan Setan dan penghisapan darah hanya beberapa hal yang dituduhkan ke anggota band metal Anarchadia. Mereka menyebut diri sebagai anarkis dan merupakan yang pertama berjuang mendukung perlawanan rakyat terhadap rezim Assad.

Penggemar musik metal Suriah Mounir mengatakan, "Musik rock dan metal, dengan pakaian yang suram, musik keras, dan gelang paku, selalu sangat terkait dengan pemberontakan, revolusi, dan kemarahan terhadap aparat. Jadi fakta bahwa orang Suriah yang mendengarkan musik keras sebagian besar anti rezim bukanlah suatu kebetulan,"  kata Mounir, seorang penggemar berat musik metal.

Anarchadia meninggalkan negara itu, melarikan diri dari penahanan, pelecehan, dan ancaman kematian. Begitu pula kelompok hip hop Suriah – Palestina ‘Refugees of Rap’ (Pengungsi dari Rap), dalam album ketiga, ‘The Age Of Silence' (Zaman Kebisuan). Album itu metafora kejatuhan Suriah dalam kegelapan sepanjang dasawarsa.

“ Zaman Kebisuan telah  berakhir. Bagaimana bisa begitu banyak ketidakadilan datang dari satu orang saja? Kamu harus berjuang dan mengatakan itu langsung dari hatimu, bangun dari ketakutanmu. Tidak ada yang ditakutkan, kamu dapat mengatakan apa yang kamu inginkan, Zaman Kebisuan telah berakhir."

Dari Perang, Terlahir Kembali Kehidupan

Bahkan ketika dikelilingi kengerian perang dan tingkat kekerasan, banyak warga Suriah berhasil menyalurkan kesedihan dan kehancuran dengan kreativitas dan kehidupan.

Tukang keramik Abu Ali al Bitar dari kota yang hancur Duma menghasilkan lukisan kreatif yang meliputi lampu, tongkat, toilet yang terbuat dari roket, dan beragam alat musik. Dia membuatnya dari bagian roket, mortir yang tidak meledak, dan selongsong peluru.

"Aku menciptakan seni dari lambang rasa sakit dan kehancuran," kata Abu Ali."Orang-orang Suriah yang cerdas dan berani, dan dunia berdiri sebagai saksi budaya kuno dan peradaban. Kami adalah orang-orang yang damai, bukan orang perang, dan kami tidak haus darah.”

"Selongsong peluru dapat digunakan untuk semua jenis seni," dia bersenandung ketika menunjukkan cara menggunakan alat musik buatan tangannya. "Saya menggunakan roket untuk bass Oriental, seperti drum dan timfana, semua orang tahu itu terbuat dari tembaga."

Hari ini, tiga tahun pecahnya pemberontakan Suriah, aktivis sipil tidak lagi hanya melawan rezim Assad.  Tetapi juga melawan kelompok-kelompok ekstremis seperti Front Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mendapatkan ruang di kekosongan kekuasaan dari daerah-daerah yang dibebaskan. Menampilkan seni dan kreativitas dengan terbuka, seperti musik, menjadi sasaran kelompok-kelompok ini. Bahkan mereka menggerebek pesta pernikahan dan perayaan masyarakat untuk menghentikan musik dan nyanyian.

Membungkam musisi dengan kekerasan merupakan bagian dari upaya memaksakan agenda politik dan keagamaan yang berbenturan dengan keragaman dan kekayaan struktur sosial Suriah. Perlawanan rakyat terhadap bentuk-bentuk baru penindasan telah sekuat itu dalam menghadapi rezim.

Para pengunjuk rasa telah meneriakkan itu keras dan jelas melalui seluruh daerah yang dibebaskan,"ISIS, enyalah dari negara kami. Assad dan ISIS adalah satu. " (freemuse.org)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home