Loading...
DUNIA
Penulis: Sabar Subekti 10:52 WIB | Kamis, 22 Agustus 2013

Musim Semi Arab Menghembuskan Ancaman Perang Saudara

Musim Semi Arab Menghembuskan Ancaman Perang Saudara
Pertemuan Kelompok Diskusi Internasional Valdai, Rabu (21/8) di Moskow. (Foto-foto: ria.ru).
Musim Semi Arab Menghembuskan Ancaman Perang Saudara
Pertemuan Kelompok Diskusi Internasional Valdai di Marrkesh, 15 Mei.

MOSKOW, SATUHARAPAN.COM – Digulingkannya Presiden Mesir, Mohammed Morsi dan perang sipil di Suriah merupakan dua contoh dari kebuntuan dalam menghadapi pertentangan antara kelompok sekuler dan Islamis yang merupakan inti dari gejolak yang sedang berlangsung di dunia Arab dalam beberapa tahun ini.

Demikian salah satu kesimpulan dalam laporan yang ditulis oleh Kelompok Diskusi Internasional Valdai. Laporan itu dipresentasikan hari Rabu (21/8) di Moskow, Rusia, sebagaimana dilaporkan kantor berita RIA Novosti.

Laporan itu menyebutkan,  ketahanan pemerintah Suriah  dalam menghadapi perlawanan pemberontak lebih dari dua tahun karena didukung oleh pemerintahan yang sekuler. Sementara pemerintah Mesir (di bawah Mohammed Morsi) yang  semakin Islam, justru menjadi faktor yang mendorong militer Mesir untuk menggulingkan presiden Islamnya.

"Rezim sekuler Assad (Presiden Suriah, Bashar Al Assad) berhasil bertahan hidup, dan ini mendorong  tentara (Mesir)  untuk bertindak,"  kata Veniamin Popov dari Moscow State Institute of International Relations, dalam presentasi laporan tentang gerakan Islam Melawan Sekuler di dunia Arab.

Laporan itu berjudul "Islam dalam Politik: Ideologi atau Pragmatisme," didasarkan pada hasil konferensi Dialog Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Kelompok  Valdai, di Maroko pada pertengahan Mei dan dihadiri oleh sejumlah politisi tingkat  tinggi dari berbagai kawasan.

Musim Semi Arab

Laporan itu menyebutkan, kelompok Islamis memperoleh peran utama dalam politik di negara-negara Timur Tengah setelah terjadinya  "Musim Semi Arab” (Arab Spring). Ini sebuah gelombang revolusi yang dimulai pada akhir tahun 2010, dipicu oleh masalah ekonomi dan frustrasi publik terhadap elite penguasa otoriter yang korup, kata laporan itu.

Perubahan rezim terjadi di Tunisia, Yaman, Libya dan Mesir, Bahrain dan Suriah dilanda konflik bersenjata internal, dan sejumlah negara, termasuk Aljazair, Kuwait dan Maroko, melihat protes utama yang muncul sebagai bagian dari Musim Semi Arab itu.

Di Mesir, kekacauan terus berlangsung. Mohamed Morsi yang terpilih sebagai presiden setelah revolusi 2011, digulingkan bulan lalu oleh militer yang diikuti protes massa terhadap kebijakan Islamisnya. Kontra-protes oleh pendukung Morsi itu dibubarkan oleh tindakan pasukan pemerintah, mengakibatkan lebih dari 800 korban meninggal yang dilaporkan secara resmi oleh pemerintah.

Laporan itu menyebutkan bahwa para pakar dan politisi gagal untuk menyepakati apakah Islamis mampu berlaku sebagai pengganti rezim lama. Islamis disebutkan memiliki rekam jejak yang pendek dan merata pada kedua hal, yaitu pemerintahan dan kebebasan demokratis, dan sering dituduh hanya mengadopsi prosedur demokratis demi meraih kekuasaan, tetapi dengan tujuan akhir untuk mendirikan kediktatoran teokratis.

Sementara itu, waktu yang berlalu sejak awal Musim Semi Arab tidak cukup untuk setiap kekuatan politik itu mengimplementasikan perubahan ekonomi, sosial atau politik yang signifikan, laporan tersebut menambahkan.

Tidak Solid

Selain itu, Islam politik bukan kelompok yang solid. Mereka terbentuk dari beberapa kelompok yang berbeda, termasuk kaum liberal, dan konservatif yang mendukung Islamisasi masyarakat mereka, meskipun tidak setuju pada apakah prosesnya harus cepat atau bertahap, dan juga ada kelompok radikal anti-sistemik yang siap untuk menggunakan kekerasan untuk memberlakukan aturan syariah, kata penulis lain laporan itu, Vitaly Naumkin. Dia mengepalai Institut Studi Oriental di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia.

Mereka (kelompok yang berbeda itu-Red) bersaing antara satu sama lain, dan dengan menggunakan kekuatan politik sekuler untuk mempertahankan dukungan politik yang luas, meski mengalami serangkaian kemunduran. Hal itu mengganggu keseimbangan geopolitik dan kekuatan di kawasan, mendorong aliansi antara musuh tradisional dan menciptakan pertengkaran antara sekutu lama, kata Naumkin.

Dia mengutip sebagai contoh teokrasi Arab Saudi yang mendukung kudeta terakhir oleh militer sekuler di Mesir. Kudeta itu membuat hilangnya kekuasaan Ikhwanul Muslimin, sebuah kelompok Islamis yang memiliki versi yang berbeda dengan yang ada di Arab Saudi.

Arsitektur Keributan

"Arsitektur geopolitik di kawasan ini adalah total keributan," kata Naumkin. “Pendulum akan terus berayun antara kekuatan sekuler dan agama untuk waktu yang lama, karena tidak siap untuk bekerja sama ... yang berlaku untuk semua negara-negara Arab," kata Popov, yang juga turut menulis laporan itu.

"Jika mereka tidak dapat bekerja dan keluar untuk mencapai kompromi dan bersama mulai membangun negara ... bentrokan akan terus berlanjut."

Ancaman Perang Sipil

Dalam pertemuan di Marrakesh, pertengahan Mei lalu seperti diberitakan kantor berita Rusia, Ria Novosti, kelompok diskusi Valdai ini mengingatkan adanya ancaman gelombang perang sipil. Gerakan Islamis mendapatkan kekuasaan di negara-negara yang mengalami “Arab Spring” dapat memicu gelombang baru protes dan menyebabkan perang sipil.

"Sebuah rezim Islamis jelas bertentangan dengan aspirasi multietnis di  Suriah," kata Basma Qodmani, anggota oposisi Dewan Nasional Suriah pada penghujung 2011. Jika Islamis memasuki kekuasaan, akan memecah negara, kata dia. “Jika hal itu terjadi, (negara) tetangganya juga akan terpengaruh.”

Kelompok-kelompok ekstremis yang bertempur di wilayah Suriah terhubung pada kelompok masyarakat Suriah yang bukan politis maupun sosial, tetapi Islam lokal, diwakili terutama oleh gerakan Persaudaraan Muslim. “(Mereka) bisa memiliki peran dalam kehidupan politik masa depan negara asalkan mereka menjadi lebih moderat," kata dia.

Ahmed Ezz El-Arab, wakil kepala Partai Wafd Mesir, mengatakan bahwa kelomp[ok Islamis telah mengambil posisi dominan di negara bagian di Mesir.

Anggota Ikhwanul Muslimin yang memenangkan pemilihan presiden di Mesir "menggunakan agama sebagai alat politik, menjadi patriot bagi gerakan mereka, bukan bagi Mesir," katanya.

"Belum pernah ada pemerintah seperti ini yang tidak kompeten dalam sejarah negara kami. Mereka membajak revolusi dan sekarang mereka ingin membawa anggota gerakan mereka pada semua posisi kekuasaan, " kata dia. “Hal itu akan mendiorong negeri ini pada sebuah revolusi baru dan perang saudara,"  kata dia mengingatkan ketika itu. (ria.ru)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home