Loading...
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 01:54 WIB | Jumat, 04 September 2015

Panggung Edan-edanan di FKY 27

mengangkat (kembali) sungai sebagai jembatan peradaban
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Jogja Hiphop Foundation (JHF) dalam aksinya di Panggung Edan-Edanan FKY 27 di bawah Jembatan Sardjito-Kali Code, Kamis (3/9) (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Repertoar tari Puisi Cinta Amba karya Nungki Nurcahyani, Rabu (2/9)
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Tarian Rerahsa karya koreografer Anggoro
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Tari Bala Kosa karya Pragina Gong
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Tarian Hangrengga Rasa karya Ayu Permatasari
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Tarian Satu Jiwa karya Agung Cendhik
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Tarian Satu Jiwa
Panggung Edan-edanan di FKY 27
Jogja Hiphop Foundation

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah panggung di bantaran Kali Code turut menyemarakkan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY 27). Panggung yang didirikan di bawah Jembatan Sardjito, Sleman, Yogyakarta ini selama dua hari mementaskan karya-karya seniman Yogyakarta. Tari kontemporer digelar hari Rabu (2/9) malam, sementara Kamis (3/9) malam mementaskan beberapa grup musik.

Panggung Edan-edanan, mengambil tema FKY 27 Dandan yang memuat dua aktivitas: bersolek dan berbenah diterjemahkan dalam sebuah panggung pertunjukan seni yang memanfaatkan bantaran Kali Code sebagai ruang publik untuk beraktivitas dalam berbagai arah. Sinergitas keduanya menghasilkan proses saling melengkapi dalam upaya mewujudkan wilayah Yogyakarta sebagai kota seni-budaya. nDandani membutuhkan peran serta semua elemen masyarakat.

Kali Code sebagai salah satu rupa sungai penopang kehidupan masyarakat Yogyakarta mencoba diangkat dalam wajah yang lebih humanis di dalam panggung pertunjukan sebagai gambaran sebuah hubungan antara manusia dan lingkungannya yang saling menghidupi. Dalam perkembangan peradaban manusia, sungai menjadi salah satu urat nadi yang berperan besar dalam berbagai aktivitas manusia mulai dari pemenuhan kebutuhan air untuk aktivitas manusia, pertanian, perdagangan, hingga hubungan antar bangsa.

Pementasan tari di Panggung Edan-edanan FKY 27 menampilkan karya lima koreografer muda Yogyakarta selama 100 menit diawali dengan Nungki Nurcahyani yang menampilkan repertoar Puisi Cinta Amba dalam garapan tari dipadu dengan permainan bass biola elektrik dan gendang tunggal.

Anggoro menampilkan koreografi dengan judul Tari Rerahsa yang berkisah pada perenungan pada narimo ing pandum. Sementara Pragina Gong menampilkan Tari Bala Kosa yang menceritakan prajurit yang sedang mempersiapkan peperangan. Ayu Permatasari menampilkan koreografi Hanggrenggo Rasa.

Pada penampilan terakhir, Agung Cendhik menampilkan koreografi Satu Jiwa yang menggambarkan realitas manusia di bumi Nusantara dalam berbagai karakter, ragam budaya, keyakinan, namun perbedaan itu justru membentuk masyarakat yang lebih indah dan beragam dalam satu jiwa Indonesia.

Dalam pertunjukan musik, Jogja Hip Hop Foundation (JHF) membawakan beberapa lagu yang berisi kritik sosial diantaranya Jogja Ora Didol. Setelah penampilan beberapa grup musik, lagu-lagu kritik sosial yang dibawakan JHF di bantaran Kali Code tersebut terasa menukik pada realitas permasalahan yang saat ini sedang dihadapi Yogyakarta mulai dari sampah visual, alih fungsi lahan, terpinggirkannya pasar tradisional oleh pasar modern hingga pembangunan hotel yang akhir-akhir ini mendapatkan protes masyarakat akibat masalah sosial-lingkungan yang ditimbulkannya. Kritik sosial yang berkembang sesungguhnya menjadi gambaran dinamika masyarakat yang mencintai Yogyakarta.

"... Merapi gregetan, blegere ilang/Ketutupan iklan, dadi angel disawang /Neng duwur dalan, balihone malang /Sampah visual pancen kudu dibuang.//Lan, lan, hotel, hotel bermunculan/Suk-suk pari ambruk karo pemukiman/Lahan hijau makin dihilangkan/Ruwet, macet, Jogja berhenti nyaman..". (lirik lagu: Jogja Ora Didol)

FKY 27 sendiri diharapkan tetap mampu “menopangi” Yogyakarta secara estetik dalam format festival, dan bukan sekadar “menopengi” yang berarti hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa ada tujuan untuk mempertahankan atau mengembangkan karakteristik seni budaya Yogyakarta. Melalui festival seni diharapkan dapat terjadi bincang keilmuan, wacana, kreasi sampai pergerakan yang lebih komprehensif sebagai upaya dari mulai dandan sampai dengan nDandani Yogyakarta dengan rupa-rupa permasalahannya. Sungai dan bantarannya salah satunya.

Di saat sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia mengalami kerusakan akibat dari perubahan tata-guna lahan, pertambahan jumlah penduduk, arah kebijakan pembangunan, serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan DAS, Panggung Edan-edanan pada FKY ke-27 tahun 2015 menawarkan hal yang menarik: ketika masyarakat berusaha untuk menghidupi dan menghidupkan kehidupan sungai, pada saat yang bersamaan sungai pun menawarkan kehidupan yang selaras dengan aktivitas manusia di atasnya.

Ketika Yogyakarta sibuk bersolek untuk mempercantik wilayahnya, pada saat bersamaan Yogyakarta pun sudah seharusnya berbenah atas pemasalahan sosial-lingkungan yang terjadi agar urip-nya menjadi lebih urup bagi masyarakatnya.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home