Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 08:42 WIB | Rabu, 24 September 2014

Pemerintah akan Tindaklanjuti Putusan MA Soal GKI Yasmin

Kasus GKI Yasmin SBY Harus Tegakkan Konstitusi. Suasana Ibadah perjuangan di seberang Istana Merdeka Jakarta (Foto: Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan, baru-baru ini mengatakan pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung yang membatalkan pembekuan izin terhadap pembangunan GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat.

Juru Bicara Gereja Kristen Indonesia Yasmin, Bona Sikalingging hari Selasa (23/9) menyambut baik rencana pemerintah tersebut. Menurutnya langkah itu seharusnya sudah diambil pemerintah sejak Mahkamah Agung membatalkan pembekuan izin terhadap pembangunan GKI Yasmin di Bogor.

Pengabaian putusan Mahkamah Agung oleh pejabat negara, lanjutnya melanggar hukum. Menurutnya memang sudah seharusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperhatikan nasib kelompok minoritas yang terganggu kebebasan beragamanya.

Bona mengatakan,"SBY sebagai Presiden tegurlah kepala daerah itu yang melanggar hukum. Bapak kan Presiden, dengan segala kewenangan, berdasarkan undang-undang, konstitusi, silakan disampaikan kepada bawahannya harus segera mengoreksi tindakan itu. (Ini) supaya ditunjukkan secara jelas kepada rakyat Indonesia, siapa Presidennya."

GKI Yasmin disegel oleh Satpol PP Kota Bogor pada tanggal 10 April 2010, sebagai pelaksanaan perintah Wali Kota Bogor. Sejak penyegelan itu, Jemaat GKI Yasmin beribadah di halaman gereja dan di jalan. Namun karena selalu mendapat intimidasi, maka umat mengalihkan tempat ibadah di rumah jemaat.

Sebenarnya, Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta memenangkan GKI Yasmin, dalam sengketa IMB yang berbuntut penyegelan tersebut. Mahkamah Agung (MA) juga telah menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor.

Di akhir masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Setara Institute mendesak Presiden Yudhoyono mencabut semua perundang-undangan maupun aturan yang mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Peneliti Setara Institute Halili Hasan mengatakan, Undang-Undang PNPS No.1 Tahun 1965 tentang larangan penodaan agama, Surat Keputusan Bersama pembatasan Ahmadiyah, peraturan daerah yang diskriminatif terhadap minoritas serta peraturan perundang-undangan lainnya harus segera dicabut.

Menurut Halili, selama ini semua peraturan perundang-undangan maupun aturan tersebut telah menjadi alat justifikasi bagi kelompok intoleran dan masyarakat pada umumnya, dalam melakukan aksi kekerasan kepada kelompok-kelompok minoritas.

"Di beberapa daerah itu, menonjol misalnya baliho-baliho dan selebaran-selebaran dan yang lainnya yang mengajak untuk menghilangkan atau tidak memberikan ruang kepada kelompok minoritas itu marak, dan itu dibiarkan padahal kita temukan di Yogyakarta penyesatan atas syiah dan balihonya besar-besar, balihonya itu berizin dan itu dibiarkan," cetus Halili.

Sebelumnya, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha membantah adanya pembiaran yang dilakukan pemerintah, terkait kasus kebebasan beragama. Dia mengakui masih adanya gesekan atau perselisihan yang terjadi di masyarakat terkait toleransi beragama tetapi jumlahnya tidak banyak.

"Apakah ada tempat lain yang lebih menjanjikan kebebasan dalam hal kehidupan beragama sebaik di Indonesia, Kita bisa lihat kebebasan beragam di kita sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 itu betul-betul dijalankan dan dikelola oleh negara sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Negara tetap hadir di dalam untuk menyelesaikan perselisihan," demikian jelas Julian Aldrin Pasha. (voaindonesia.com)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home