Loading...
DUNIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:15 WIB | Senin, 06 April 2020

Pentingnya Pelayanan Konseling Psikologis Selama Lockdown di Italia

Wabah COVID-19 memaksa warga Italia hidup di bawah lockdown ketat sejak 9 Maret. Seberapa buruk konsekuensi psikologisnnya, bergantung pada berapa lama krisis berlangsung.(Foto: dw.com)

ITALIA, SATUHARAPAN.COM – Wabah COVID-19 memaksa warga Italia hidup di bawah lockdown ketat sejak 9 Maret. Seberapa buruk konsekuensi psikologisnnya, bergantung pada berapa lama krisis berlangsung.

Sonia Tranchina, 38, telah hidup terkurung bersama dua anaknya dan anjing mereka di apartemen seluas 65 meter persegi di Kota Milan, sejak aturan lockdown yang ketat diberlakukan untuk meredam penyebaran virus corona.

"Semuanya berjalan baik, sampai kemarin. Yang termuda berusia 13 tahun. Dia biasanya tertutup, tetapi dia mengejutkan saya ketika menuntut untuk diizinkan pergi bersama teman-temannya. Dia tidak pernah melakukan itu. Tiba-tiba saya merasa kewalahan."

"Dia sebelumnya pemalu, sekarang dia bosan. Dia tidur sepanjang hari, hanya bangun untuk kelas online yang dia hadiri setiap hari. Saya cemas," katanya, yang dilansir dw.com, pada Sabtu (5/4).

Sonia Tranchina tunanetra. Dia anggota tim nasional Italia untuk Showdown- olahraga yang mirip dengan tenis meja, yang diciptakan untuk orang-orang tunanetra. "Kami sekarang terkucil. Sungguh aneh untuk tinggal di dalam rumah. Aku bahkan jadi lebih bingung ketika pergi ke supermarket, karena aku tidak mendengar ada orang di sekitar. Virus corona telah menghentikan hidup kita."

Dukungan Psikologis Dibutuhkan

Pemerintah Italia akhir Maret memulai program dukungan psikologis untuk orang-orang seperti Sonia Tranchina. Layanan itu bekerja dengan berbagai lembaga, psikolog dan psikoanalis, memberikan bantuan darurat secara gratis kepada siapa saja yang membutuhkannya. Klien bisa berbicara lewat telepon atau melakukan kontak online.

Kondisi lockdown memang diakui bisa memicu tekanan berat, bahkan bagi orang-orang dengan hubungan keluarga yang stabil dan situasi pekerjaan yang aman.

"Kami menjadi saling curiga. Rasa ini akan tetap ada selama berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun," kata Giovanni Cerana, 44, guru dan ayah dua anak. "Sistem sosial bisa runtuh, bahkan juga jaringan keluarga. Orang tua saya sudah relatif uzur. Dan anak-anak saya mungkin tidak bisa mengunjungi mereka selama berbulan-bulan. Kakek-nenek adalah pilar masyarakat Italia, sekarang mereka tersisih. Bukankah itu menyedihkan?” katanya.

Giovanni Cerana juga menunjuk pada kasus anak-anak yang ditampung di rumah khusus, setelah orang tua mereka dinyatakan positif COVID-19.

Kondisi Darurat dalam Situasi Darurat

“Permintaan untuk dukungan psikologis makin meningkat, terutama di antara orang-orang berusia tiga puluhan,“ kata Camilla Quarticelli, psikoterapis yang berbasis di Milan.

"Kita semua dihadapkan pada trauma psikologis yang intens, baik secara individu maupun kolektif, yang disebabkan tidak hanya oleh konsekuensi langsung dari pandemi berkabung dan penyakit tetapi juga secara tidak langsung, dan yang tidak kalah penting, konsekuensi seperti kehilangan pekerjaan, kelelahan dan stres karantina,” kata psikoterapis Quarticelli.

Keluarga berpenghasilan rendah dan orang lajang yang tinggal sendirian di ruang kecil menjadi sangat rentan. Terutama mereka yang terbiasa menggunakan segala macam obat terlarang.

"Karantina bisa menjadi tantangan serius bagi mereka yang kecanduan," kata Serena Camposeo, psikoterapis di wilayah Apulia selatan. "Pengurungan, imobilitas dan kurangnya obat legal ataupun illegal, dapat mendorong mereka ke dalam lingkaran obat terlarang. Mereka juga bisa beralih dari narkoba ke alkohol,” kata Camposeo.

Pekerja Medis Hadapi Tekanan Lebih Berat

Para petugas kesehatan menderita stres yang jauh lebih berat, karena kekhawatiran mereka tertular virus, atau menularkan virus kepada orang lain. Sejauh ini, di Italia sudah lebih 60 dokter yang meninggal karena tertular virus corona.

"Saya tidak hanya takut untuk diri saya sendiri, tetapi untuk orang-orang yang saya cintai," kata seorang dokter, yang bekerja di sebuah rumah sakit di Lombardy dan berbicara dengan syarat anonim. "Saya hanya berharap tidak kehabisan tenaga. Dukungan psikologis memang diperlukan, tetapi tidak ada waktu. Tidak ada sumber daya."

Isabel Fernandez, psikolog klinis yang mengambil spesialisasi dalam gangguan stres pasca-trauma (PTSD), mengatakan, para dokter sekarang lebih sering berduka untuk rekan-rekan mereka yang terinfeksi atau meninggal. "Setiap dokter atau perawat yang terinfeksi adalah pengingat kepada yang lain, bahwa mereka bisa menjadi yang berikutnya." Dia mengatakan, kurangnya sumber daya medis adalah faktor lain yang bisa membuat trauma. (dw.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home