Loading...
SAINS
Penulis: Francisca Christy Rosana 13:56 WIB | Jumat, 03 Oktober 2014

Percepatan Penetapan Hutan Adat Demi Kesejahteraan Masyarakat

Pemasangan plang hutan adat Sipituhuta. (Foto: aman.or.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa, dalam acara Dialog Nasional Hutan Adat bertajuk "Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat" pada Kamis (2/10), mengatakan percepatan penetapan hutan adat menjadi bukti ditunaikannya utang konstitusi negara.

Dia berpendapat hak masyarakat adat adalah hak konstitusional yang telah lebih dari 47 tahun diingkari negara. Pengingakaran terhadap hak masyarakat adat ini merupakan bentuk kejahatan terberat dalam konteks bernegara.  

“Percepatan penetapan hutan adat menjadi penting sebagai koreksi atas kesalahan tata kelola hutan yang telah melahirkan konflik, kerusakan lingkungan, dan bencana ekologis yang terjadi selama ini,” kata Chalid.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia Andiko mengatakan Konstitusi Republik Indonesia, Pasal 33 dan Pasal 18, apabila disandingkan, akan menghasilkan pembahasan politik hukum ekonomi kerakyatan Indonesia. Ekonomi kerakyatan akan lahir jika penetapan wilayah adat yang di dalamnya terdapat hutan adat dilaksanakan. Andiko juga menambahkan, pengakuan wilayah adat merupakan jalan awal jika pemerintahan Jokowi-JK ingin mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan tersebut. Namun, pascaputusan MK 35, belum ada satu pun penetapan hutan adat.

Putusan MK Nomor 35

Prof Dr Ahmad Sodiki, SH, mantan Hakim Konstitusi mengatakan, “Putusan MK 35 adalah satu dari beberapa putusan MK terkait dengan UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Kehutanan. Putusan ini telah membedakan hutan adat dan hutan negara. Seharusnya, jika ada modal untuk penetapan hutan adat, bisa segera dilaksanakan, tentu saja dengan melibatkan dialog multipihak,” ujarnya.  

Putusan MK Nomor 35 itu dinilai tidak merevisi pengakuan bersyarat mengenai keberadaan masyarakat hukum adat sesuai dengan Pasal 67 UU Kehutanan 1999. Ini berarti legalitas keberadaan masyarakat hukum adat masih memerlukan perangkat hukum di tingkat daerah, baik di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten/kota.

Selain itu, putusan MK Nomor 35 dipandang sebagai tindakan untuk memulihkan hak warga negara dan menata kembali hubungan masyarakat adat dengan pemerintahan dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan.

“Hutan merupakan irisan bagian dari wilayah adat,” kata Ir H Junaidi Hamsyah, SAg, Gubernur Bengkulu.

Junaidi menambahkan, penetapan hutan adat dan kesejahteraan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan telah menjadi isu yang krusial, apalagi 46 persen wilayah Bengkulu merupakan wilayah hutan lindung. Sementara itu, Yahya Muaz yang hadir mewakili Wali Nangroe Aceh Darussalam, menyebutkan 49,9 persen wilayah Aceh adalah hutan lindung.

Ir H Shadiq Pasadique, SH MM, Bupati Tanah Datar Sumatera Barat mengatakan, “Kabupaten Tanah Datar telah mengimplementasikan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 4 Tahun 2008 tentang Nagari, yang mendefenisikan nagari adalah kesatuan masyarakatan adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, dan berdasarkan asal-usul serta adat Minangkabau yang diakui dan dihormati,” katanya.

Dalam perda tersebut dinyatakan bahwa wilayah nagari yang meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas tertentu secara turun temurun telah diakui berdasarkan kesepakatan.

”Semua dokumen ini menjadi penting dan bisa menjadi modal untuk penetapan hutan adat. Kementerian kehutanan tidak dalam kapasitas untuk mendiskuskan, tapi bagamaina membuat itu menjadi simple dan sederhana,” kata San Afri Awang, Kepala Balitbang Kementerian Kehutanan.

Dialog Nasional Hutan Adat

Dialog Nasional Hutan Adat itu diselenggarakan oleh HuMa Indonesia bekerja sama dengan JKMA Aceh, Perkumpulan QBar, KKI Warsi, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), RMI Bogor, Akar Foundation, LBBT Pontianak, Perkumpulan Wallacea, AMAN Sulsel, Perkumpulan Bantaya, Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, PADI, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Balitbanghut) Kementerian Kehutanan.

Dialog itu dihadiri 156 orang, terdiri atas beberapa kepala daerah, seperti Gubernur Bengkulu, Wali Kota Nanggroe Aceh Darussalam, satuan kerja perangkat daerah, dinas kehutanan provinsi, balai pemantapan kawasan hutan, UPT kehutanan, tim peneliti, serta perwakilan masyarakat adat dari berbagai daerah, seperti Kabupaten Aceh Barat dan Pidie Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Merangin Jambi, Kabupaten Lebong Bengkulu, Kabupaten Tanah Datar dan Pasaman Sumatera Barat, Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat, Kabupaten Paser Kalimantan Timur, Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Sigi dan Morowali Sulawesi Tengah.

Diskusi yang dihadiri banyak pihak itu menjadi bukti komitmen bersama untuk mempertahankan masyarakat hukum adat dan wilayah hutannya. Widiyanto, peneliti Perkumpulan HuMa Indonesia, mengatakan kesatuan masyarakat hukum adat di 13 lokasi tersebut telah sesuai dengan kriteria, sehingga layak diajukan sebagai bentuk implementasi putusan MK nomor 35. (PR)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home