Loading...
ANALISIS
Penulis: Samsudin Berlian 00:00 WIB | Rabu, 26 Oktober 2016

Pragmatika

Kontroversi ucapan Ahok di Pulau Seribu masih terus panas. Sayang, para ahli bahasa tidak ikut berpendapat. Padahal jika dilihat dari ilmu bahasa, salah satunya dari sudut pragmatika, ucapan kontroversial Ahok itu dapat membuka ranah kajian yang bermacam-macam.

SATUHARAPAN.COM - Tanpa disadari banyak orang, penghebohan kata “pakai” di dalam pidato Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama awal bulan ini telah mendorong mereka terlibat dalam perdebatan di wilayah bukan hanya semantika melainkan juga pragmatika. Dalam dialog di Pulau Seribu itu, sang gubernur mengucap, “...dibohongi pakai Surat Al-Maidah...”.

Dari sisi semantika, seperti telah ditunjukkan banyak pakar bahasa, keberadaan kata “pakai” mengacu kepada adanya “pemakai”. “Pemakai” itulah yang oleh sang gubernur dituduh telah berbohong. Benar tidaknya tuduhan itu tentu bisa diperdebatkan, tapi perdebatan yang meluas ternyata justru bukan mengenai tuduhan kepada si pemakai, yang siapa adanya tidak disebutkan secara eksplisit, melainkan mengenai “apa yang dipakai”, yang tidak ada kena-mengenanya dengan tuduhan itu.

Akan tetapi, betulkah sama sekali tidak ada kena-mengenanya? Dari sisi semantika saja, memang tidak ada. Misalnya, apabila dikatakan bahwa sekerling mata telah dipakai untuk membohongi seorang jaka tingting, adalah konyol apabila orang lalu memperdebatkan apakah telah terjadi pelecehan terhadap kerling mata yang kerap dipuja-puji para pujangga Nusantara, apalagi bila dianggap ada penistaan terhadap para pujangga itu. Apa yang berkembang dalam perdebatan tentang makna perkataan gubernur paling tenar di seantero negeri itu telah melampaui semantika, dan sebagian besar berada di dalam wilayah pragmatika. Ada juga perdebatan politis, etiketis, hukum, etis, dan agama, tapi itu di luar cakupan kolom ini.

Kata Yunani pragma berarti perbuatan, tindakan; pragmatikos berarti mampu berbuat. Sama seperti semantika, pragmatika adalah cabang linguistika yang mempelajari makna kata dan kalimat. Perbedaan keduanya terletak pada ukuran dan cakupan unsur-unsur yang dijadikan acuan untuk mendapatkan makna itu. Semantika menggali makna dari kata atau kalimat yang dipakai, entah denotatif, konotatif, atau filosofis, dengan memperhatikan unsur-unsur kebahasaan seperti tatabahasa. Semantika berfokus pada apa yang dikatakan atau tertulis. Pragmatika berusaha menggali makna dari apa yang dimaksudkan oleh pengucap atau penulis. Makna yang tergali melalui pragmatika bisa saja tidak tercakup di dalam makna kata menurut kamus dan tatabahasa. Pragmatika memperhatikan bukan hanya bahasa yang dipakai, melainkan juga pemakai bahasa, baik pengucap maupun pendengar, waktu dan tempat pengucapan, bagaimana kata-kata itu diucapkan, dst. Kata atau kalimat sama yang diucapkan atau didengarkan orang berbeda bisa saja bermakna berbeda.

Yang terjadi adalah perdebatan pragmatika ketika orang membahas apa sebetulnya yang ingin dikatakan oleh sang gubernur, apa yang ada di dalam hatinya atau yang ingin dicapainya, reaksi tertawa saat itu juga atau reaksi marah beberapa hari kemudian dari para pendengarnya yang berbeda waktu dan tempat, apa yang mereka rasakan dan pikirkan, gaya pengucapan dan kebiasaan berbahasa masa lalu sang gubernur, dst.

Dari sisi pragmatika, konteks lebih luas dipertimbangkan. Misalnya, rekam jejak—apakah sang gubernur selama ini menerapkan kebijakan yang dianggap atau dinilai berdampak negatif atau positif terhadap Islam; apakah sudah biasa atau sudah pernah dia mengucapkan kata-kata hinaan atau pujian terhadap Islam. Tujuan logis—apakah masuk akal menghina mayoritas konstituen beragama Islam pada bulan-bulan jelang pemilihan umum. Dari berbagai analisis itu, apabila unsur-unsur yang dipakai cukup luas dan komprehensif, suatu benang merah lalu bisa ditarik, dan kesimpulan yang masuk akal bisa ditetapkan.

Analisis pragmatika juga bisa dikenakan kepada penyerang dan pembela sang gubernur. Misalnya, apakah mereka sudah biasa atau pernah menyalahkan atau mendukungnya; apakah mereka memiliki tujuan yang akan tercapai apabila tuduhan mereka berbuah kegagalan, atau pembelaan mereka berbuah keberhasilan, sang petahana.

Dari sini pun kebenaran yang kurang lebih obyektif bisa terungkap. Dan pro-kontra bisa lebih dipahami, walaupun tidak akan terselesaikan.

 

Penulis adalah pengamat bahasa

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home