Loading...
INSPIRASI
Penulis: Katherina Tedja 04:41 WIB | Senin, 11 Agustus 2014

Ryan Tumiwa, Selalu Ada Jalan!

Ryan Tumiwa (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Ada banyak cara untuk mati. Namun, tidak ada satu pun yang diawali dengan menggugat undang-undang yang berlaku, apalagi minta tunjangan hidup. Jadi, mari kita simpulkan sendiri, apakah  Ryan Tumiwa, lelaki berusia 48 tahun, lulusan pascasarjana UI ini benar-benar ingin hidupnya berakhir.

Pada awalnya tidak tebersit keinginan untuk menuntut eutanasia. Diakuinya sendiri dia mendatangi Komnas HAM untuk meminta haknya sebagai fakir miskin yang dilindungi negara. Ryan juga berharap dirinya dapat diliput media dan mendapat pertolongan.  

Dari Komnas HAM, ke Dinas Kesehatan, kemudian ke Mahkamah Konstitusi, Ryan mencari solusi dan jawaban. Solusi atas kesepiannya dan jawaban atas ketakutan-ketakutannya. Dia takut menjadi gila dan mati kelaparan karena tidak bekerja.

Di dalam keunikan dan keanehan ini, jika tidak mau disebut kegilaan, saya kok melihat sesuatu yang wajar. Semua orang menghadapi masalah, semua orang mencari solusi, dan semua orang punya ketakutan-ketakutan.

Otaknya yang suatu ketika pernah mencerna dan mendalami Ilmu Administrasi Fiskal, yang kemudian diajarkannya di ruang kuliah dan diterapkannya di dalam pekerjaannya, kini menggeliat gelisah ingin terus dimanfaatkan. Makhluk sosial yang menjadi bagian dirinya mendesak untuk berinteraksi dengan orang lain. Fisiknya yang lesu karena hanya ”bengong-bengong” saja meradang ingin digerakkan. Maka bertindaklah dia, mendatangi dan menggugat banyak pihak.

Apa yang dilakukannya dapat dibilang radikal. Atau bisakah dikatakan kreatif? Gila atau kreatif akan ditentukan oleh hasilnya. Jika gugatan yang kini membuatnya ramai dibicarakan,  menjadikannya semakin tenar, diundang wawancara sana-sini, dan mengantarnya membumbung ke atas; maka itu adalah kreatifitas, keajaiban yang hanya terjadi satu kali saja, tidak dapat diulang oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

Jika tidak demikian… masih banyak jalan yang dapat ditempuhnya, seperti yang dinasihatkan Patrialis Akbar, hakim MK yang lembut hati: ”Jualan koran… atau jualan apa gitu….” Yang tidak boleh dilupakan Ryan adalah ia masih memiliki sepotong tanah di Jakarta.  Banyak orang yang jauh kurang beruntung darinya. Jika dia berhenti mengarahkan pandangan kepada dirinya semata dan melihat ke bawah, mungkin… depresinya bisa sembuh tanpa buang-buang uang untuk psikiater dan obat-obatan.

Dan… selalu ada hikmah di balik peristiwa. Tidakkah kejadian ini menggugah orang-orang yang lebih beruntung untuk memberikan kesempatan dan menghargai keunikan dan keberbedaan manusia? Semoga saja demikian adanya.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home