Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 11:40 WIB | Sabtu, 09 Agustus 2014

SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya

SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
Pdt. J.A.U Doloksaribu (kiri) didampingi istri, Romauli boru Hutajulu (kanan). Pada peluncuran buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan. Jumat (8/8). (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
S.A.E Nababan memberi kesan tentang Pdt. J.A.U Doloksaribu pada peluncuran buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan. Jumat (8/8).
SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
Daniel Harahap memberi kesan tentang Pdt. J.A.U Doloksaribu pada peluncuran buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan. Jumat (8/8).
SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
Paduan suara HKBP Menteng menyanyikan lagu-lagu gubahan Pdt. Jonggi pada peluncuran buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan. Jumat (8/8).
SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
Paduan suara HKBP Tebet menyanyikan beberapa lagu gubahan Pdt. Jonggi pada peluncuran buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan.
SAE Nababan Harap Pdt Jonggi Tetap Berkarya
Buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Emiritus (Pdt Em.) Soritua Albert Ernest (SAE) Nababan, Li.D berharap  Pdt. Jonggi August Uluan (J.A.U) Doloksaribu, M.Min akan tetap berkarya walau dia memasuki masa emiritus (pensiun). Hal ini dia kemukakan ke hadapan para undangan yang hadir pada Peluncuran Buku Seribu Warna dan Nada untuk Tuhan yang berlangsung Jumat (8/8) di Gedung Sekolah Tinggi Teologia, Jakarta.

“Coba saja kita lihat wajah Pak Doloksaribu ini apakah kita bisa mengatakan dia sudah letih dan lelah sebagai orang yang berusia lebih dari 60 tahun (J.A.U Doloksaribu lahir 1949), barangkali dia masih dalam puncak karirnya atau masih bertenaga untuk menggubah lagu,” kata Soritua.

Sebagaimana diketahui bahwa Pdt. J.A.U Doloksaribu akan menjalani masa emiritus yang bersamaan dengan peluncuran buku yang berisi ulasan  musik  dan beberapa masalah gereja di Indonesia tersebut.

“Ada beberapa gereja yang  memberlakukan batas usia pensiun pendetanya, tetapi kenyataanya di lapangan, ada pendeta yang masih berusia 35 atau 40 tahun sudah tidak bisa apa-apa, sementara Doloksaribu ini masih produktif,” lanjut mantan Presiden Dewan Gereja Dunia itu.

Pendeta yang juga akrab disapa Jonggi itu  hampir 40 tahun melayani di gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Indonesia, dan berkarya lebih banyak di bidang musik gereja.

Saat peluncuran buku Seribu Warna dan Nada Untuk Tuhan, turut hadir sejumlah kerabat Jonggi semasa dia menempuh studi teologi  di Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen di Pematang Siantar pada 1960-an. Antara lain Pdt. Saut Sirait, Pdt. Gomar Gultom, Pdt. S.A.E Nababan, Pdt. Daniel Harahap, dan masih banyak  pendeta lain yang sehari-hari berkhotbah di sejumlah HKBP di Indonesia.

S.A.E. Nababan mengemukakan penetapan masa usia pensiun berdasar usia di banyak gereja adalah sebuah kesalahan yang mendasar.

“Salah satu kerusakan yang didapat akibat masuknya kapitalisme ke dalam gereja yakni tentang sistem pensiun. Sebab sistem ini dibuat berdasar menurut pertimbangan ekonomi supaya angkatan tua dibatasi, dan angkatan muda dapat memperoleh kesempatan bekerja melayani di tengah-tengah masyarakat, tanpa disadari struktur pensiun ini masuk ke banyak gereja di dunia,” lanjut Soritua.

Laki-laki yang pernah menduduki posisi penting di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia ini berpesan kepada para pendeta berusia muda agar melihat ke masa depan tentang peran gereja di Indonesia dan dunia.

“Karena  berdasar pengalaman saya saat menjabat Presiden Dewan Gereja Se-Dunia  pada usia 73 tahun dan saya masih merasa fit dan sehat. Dalam usia seperti ini, saya bisa bersaksi kebesaran  Tuhan bahwa Dia masih menghendaki saya untuk melaksanakan sumpah pendeta seperti saat saya ditahbiskan sebagai pendeta,” tutup Soritua.   

Buku berjudul Seribu Warna dan Nada Untuk Tuhan setebal 456 halaman ini merupakan buku yang diterbitkan Departemen Pemuda dan Remaja Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).  

Pada kesempatan yang sama, Pdt. Daniel Harahap, teman dari Pdt. J.A.U menghendaki saat menjalani masa emiritus, hendaknya tetap produktif tanpa melupakan berdoa. 

"Mudah-mudahan Pak J.A.U tetap bersyukur kepada Tuhan karena ada bakat khusus yang Tuhan beri bagi pak Jonggi ini, dan ini merupakan suatu hal yang langka di gereja di Indonesia. Semoga jangan pensiun menciptakan lagu, walau sudah pensiun jadi pendeta," kata Daniel.

Pendeta J.A.U menggemari musik, hal ini dia buktikan dengan banyak mengarang lagu, termasuk lagu koor. Banyaknya lagu sebanding dengan penghargaan yang pernah dia raih pada lomba mengarang lagu gereja tingkat dunia, United in Mission (UIEM).  Pendeta Jonggi  juga menerjemahkan banyak lagu-lagu gereja ke dalam bahasa Batak Toba.

Salah satu karya mutakhir ciptaan J.A.U Doloksaribu adalah Music Box Gereja (MBG), alat ini adalah penemuan pertama di dunia yang dikembangkan oleh tim musik gereja HKBP untuk memenuhi kebutuhan pelayanan musik liturgi atau gereja dalam setiap aktifitas pujian atau bernyanyi memuji Tuhan baik dalam acara kebaktian umum, pernikahan, penghiburan, kebaktian rumah tangga, ataupun kebaktian kategorial gereja.

Proyek ini merupakan kerja sama antara J.A.U Doloksaribu dan salah satu saudaranya, Nurdin Doloksaribu yang juga membantunya mengaransemen beberapa musik gereja menjadi berbagai variasi jenis musik.

Lembaga gereja yang pertama kali menggunakan MBG ini adalah HKBP, kemudian Tim MBG melakukan perluasan pelayanan ke seluruh denominasi gereja di Indonesia (Gereja Kristen Indonesia (GKI),  Gereja Kristen Jawa (GKJ), Gereja Pasundan, Toraja, Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB), Gereja Indonesia bagian Timur dalam hal ini gereja-gereja di Papua). MBG ini telah disosialisasikan di Yayasan Musik Gereja (Yamuger) Jakarta, seluruh pendeta gereja HKBP dan di berbagai gereja denominasi Indonesia.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home