Loading...
EKONOMI
Penulis: Dewasasri M Wardani 11:23 WIB | Senin, 25 Agustus 2014

Sektor Perbenihan Hortikultura Belum Siap Bersaing

Pedagang menata sayur-mayur dagangannya di pasar. (Foto Ilustrasi: antaranews.com).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM  - Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini mengatakan, sektor perbenihan hortikultura Indonesia belum siap bersaing dengan negara lain, apalagi dengan dibukanya kawasan perdagangan bebas China ASEAN Free Trade Area (CAFTA) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area).

"Indonesia hanya akan menjadi penonton, jika pemerintah salah membuat kebijakan," kata Benny saat dihubungi di Jakarta, Senin (25/8).

Menurut Benny, kehadiran investasi dan teknologi masih dibutuhkan di Indonesia, terutama untuk sektor pengembangan benih hortikultura varietas unggul, dalam menghadapi persaingan dengan negara-negara produsen hortikultura lain.

Ia mengatakan, rencana pemerintah membatasi investasi asing menjadi 30 persen saja melalui UU Hortikultura hanya akan membuat produsen benih multinasional, yang selama ini telah melakukan riset untuk menemukan benih sayuran unggul, akan merelokasi investasinya ke negara lain, termasuk negara tetangga, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi hortikultura secara keseluruhan.

Petani Indonesia akan kesulitan menghasilkan produk hortikultura, baik sayuran secara kualitas maupun kuantitasnya, sehingga pada akhirnya pasar hortikultura Indonesia akan dibanjiri produk impor, papar Benny.

Ia menilai, kebijakan pemerintah untuk membatasi investasi di sektor hortikultura, tidak tepat diterapkan pada saat ini. Setidaknya, masih membutuhkan waktu, untuk memberikan kesempatan magang dan transfer teknologi. Terlebih Indonesia sejatinya tidak memiliki atau miskin sumber genetik unggul untuk tanaman sayur-sayuran.

Menurut Benny, lebih baik mengembangkan benih hortikultura melalui investasi asing, daripada kemudian Indonesia harus mengimpor benih dan juga komoditi hortikultura.

"Kenapa sektor perbenihan hortikultura yang padat modal dan teknologi harus dibatasi, sedangkan sektor lain seperti otomotif justru mendapat fasilitas, padahal SDM kita hanya sebagai perakit dan komponen masih harus diimpor," katanya.

Benny mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam mengambil kebijakan di sektor hortikultura, karena menyangkut daya saing, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap ketahanan pangan nasional.

Ia menunjuk dibukanya kawasan perdagangan bebas dengan Tiongkok, CAFTA,  sejak dua tahun lalu yang membuat kita hanya bisa terbengong-bengong dengan membanjirnya komoditi asal negara tersebut. "Jadi bukan kita yang menggarap pasar Tiongkok tetapi mereka yang menggarap pasar kita," ujar Benny.

Sampai saat ini neraca perdagangan sektor hortikultura Indonesia masih defisit, sebenarnya bisa menggarap peluang ekspor sepanjang dapat melakukan efisiensi produksi, pengembangan teknologi perbenihan, serta berkerja sama dengan perusahaan multinasional untuk menggarap pasar global.

Benny mengingatkan perlunya mengurangi ketergantungan impor buah dan sayuran dari negara lain, dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai 270 juta pada 2025, dan 400 juta pada 2050.

"Kita harus melihat dari perspektif yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, bukan perspektif sempit dengan alasan nasionalis dengan membatasi kepemilikan asing," ujar Benny.

Ia mengatakan, sektor hortikultura Thailand berkembang karena tidak ada pembatasan investasi asing. Negara itu berkerja sama dengan Korea dan Pakistan untuk mengembangkan benih-benih unggul hortikultura.

"Korea dan Pakistan memiliki DNA-DNA tanaman hortikultura unggul, yang tidak dimiliki Thailand dan negara lain termasuk Indonesia," ujarnya.

Ia mengatakan, industri perbenihan hortikultura di Indonesia seharusnya juga dapat berkerja sama dengan negara seperti India, Tiongkok, Jepang, dan Korea atau negara lainnya. Karena Indonesia memang tidak memiliki sumber DNA unggul untuk tanaman sayur-sayuran.

"Jadi persoalannya tidak sekadar investasi asing, tetapi lebih pada bagaimana Indonesia memanfaatkan investasi asing tersebut, sekaligus mengakses sumber genetik, yang ada di perusahaan dan negara lain," ujarnya.

"Kalau memang benih unggul di dalam negeri sulit dicari, mengapa tidak mengembangkan kerja sama dengan negara lain untuk mengembangkan di sini, dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan para petani?" ujar Benny. (Ant) 

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home