Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Senin, 14 Desember 2015

Selamat Tinggal Energi Berbasis Fosil…

Dua remaja berciuman di tengah ratusan sepatu dan sandal yang ditinggalkan oleh para demonstran (Foto: Avaaz.org)

Paris, Satuharapan.com - Akhir November lalu, di Paris para pemimpin dari seluruh dunia berkumpul untuk mendiskusikan langkah-langkah konkret bagaimana menyelamatkan bumi dari ancaman perubahan iklim. Beberapa kesepakatan yang dihasilkan cukup memberi harapan di tengah ancaman perubahan iklim yang makin terlihat nyata.

Salah satu kesepakatan yang disambut gembira oleh banyak kalangan adalah komitmen seluruh negara untuk memakai 100% energi terbarukan pada tahun 2050. Ini berarti, era energi berbasis fosil, seperti batubara dan minyak bumi yang menjadi salah satu sumber pencemaran udara, akan segera berakhir. Diharapkan dengan langkah itu, sedikitnya efek rumah kaca yang lebih buruk dapat dicegah.

Cukup banyak orang yang tadinya pesimis, apakah Konferensi Lingkungan Hidup PBB di Paris akhir November itu dapat menghasilkan langkah terobosan. Sebab suasana di kota itu sendiri masih mencekam. Akibat serangan teror mematikan Jum’at (13/11) malam, Presiden François Hollande mengambil rangkaian kebijakan yang mengundang banyak kritik: memperketat perbatasan Perancis dari negara-negara Eropa lain, sehingga orang yang sudah berbekal visa Schengen pun perlu visa tambahan untuk mengunjungi Perancis; serta memberi kewenangan tambahan pada aparat keamanan guna menggeledah pihak-pihak yang dicurigai sebagai teroris.

Walau mengundang banyak kritik tajam, tetapi Presiden Hollande tidak mau mengambil risiko sekecil apapun yang dapat mengancam perhelatan akbar PBB itu. Penjagaan super ketat pun disiagakan. Maklumlah, ini merupakan perhelatan yang paling banyak diikuti oleh para pemimpin dari hampir seluruh negara, termasuk Presiden Joko Widodo dari Indonesia.

Akibatnya, banyak organisasi dan aktivis lingkungan hidup, mulai dari Greenpeace sampai Avaaz, mengeluhkan ketatnya penjagaan. Apalagi kelompok-kelompok aktivis lingkungan yang lebih radikal. Bentrok pun tak terhindarkan, saat kelompok-kelompok tersebut melancarkan demonstrasi massal di kota Paris guna mendorong negara-negara yang sedang bertemu mengambil langkah lebih tegas.

Bentrok demonstran di Paris: Seorang demonstran berkostum "Anonymus Group". Foto: Independent.uk

Salah satu peristiwa paling menarik dan menggugah emosi dunia, adalah ketika organisasi Avaaz (berdiri sejak Konferensi Lingkungan Hidup PBB di Bali, 2007) yang mendaku punya lebih dari 42 juta pengikut di seluruh dunia (http://avaaz.org) menyerukan demonstrasi besar-besaran di Paris. Seruan itu dilarang oleh pemerintah Perancis. Rencana demonstrasi besar-besaran itu memang gagal, namun para aktivis meninggalkan ratusan ribu sepatu dan sandal mereka di sepanjang jalan.

Seorang juru kamera mengambil foto rangkaian sepatu dan sandal itu, sedang di ujungnya dua remaja sedang berciuman. Pesannya jelas: “Kami memang tidak ada, tetapi jejak kami tak dapat dihapus. Dan di ujung segalanya adalah cinta!” Dalam sekejap, foto itu menjadi viral lewat saluran-saluran media sosial, menjadi trending topic sedunia. Sebab foto itu seakan menjadi icon pertaruhan global yang sedang berlangsung di Paris, di kota yang kerap menjadi simbol cinta: nasib masa depan umat manusia dan satu-satunya bumi tempat kita semua berada!

Sementara itu, di dalam arena konferensi, berlangsung perdebatan seru. Benar, memang ada kesadaran baru yang berkembang di kalangan para pemimpin politik, bahwa dampak ancaman perubahan iklim tak lagi bisa dipandang remeh. Dan bahwa salah satu langkah terobosan konkret untuk mencegah itu, adalah mengganti sama sekali energi berbasis fosil (yang sudah dipakai sejak Revolusi Industri abad ke-18 lalu) menjadi energi yang terbarukan. Namun, banyak yang masih enggan mengambil tindakan drastis, sebagai hasil lobi-lobi para pemasok energi yang tidak mau kehilangan sumber “emas hitam” mereka.

Perubahan mendasar terjadi ketika 43 negara kecil, miskin dan paling rentan (Climate Vulnerable Forum), yakni negara-negara di Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Latin dll yang paling akan kena dampak dari kenaikan permukaan laut sebagai akibat perubahan iklim, melakukan tindakan heroik mereka. Mereka menuntut pemakaian 100% energi terbarukan pada tahun 2050 dan menjaga kenaikan temperatur di bawah 1.5 derajat Celsius. Itu merupakan batas kenaikan yang dapat diterima, karena kalau tidak mereka akan hilang ditelan laut.

Seperti ditulis Kuni Naidoo dalam The Guardian, desakan 43 negara miskin itulah yang mengubah wajah persidangan. Para pemimpin dunia dari negara-negara kaya akhirnya sepakat, dan orang dapat berseru gembira, “Victory! The end of fossil fuels has begin…

Soalnya tinggal, bagaimana menjaga agar kesepakatan historis itu sungguh-sungguh dijaga dan dijalankan. Juga, bagi negara-negara yang masih sangat tergantung pada sumber energi berbasis fosil seperti Indonesia, ada tantangan lain: bagaimana mengubah kebijakan sumber energi untuk mulai menggantinya ke sumber-sumber energi yang terbarukan.

Itu pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintahan Jokowi-JK.

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGI, Jakarta

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home