Loading...
DUNIA
Penulis: Eben E. Siadari 08:52 WIB | Senin, 26 Desember 2016

Senegal, 95 Persen Rakyatnya Islam, Ikut Rayakan Natal

Senegal, 95 Persen Rakyatnya Islam, Ikut Rayakan Natal
Ornamen-ornamen Natal di mal di Senegal (Foto: AP/Jane Hahn)
Senegal, 95 Persen Rakyatnya Islam, Ikut Rayakan Natal
Santa Claus ada di jalan-jalan Senegal (Foto: AP/Jane Hahn)
Senegal, 95 Persen Rakyatnya Islam, Ikut Rayakan Natal
Selamat datang di Senegal, semua orang diterima di sini (Foto:AP/Rebecca Blackwell)

DAKAR, SATUHARAPAN.COM - Senegal dikenal sebagai salah satu wilayah di Afrika yang paling panas di dunia. Namun kesejukan terpancar dari negara berpenduduk 95 persen Muslim ini. Toleransi beragama sangat tinggi. Natal dan Idul Fitri dirayakan oleh semua orang di negara ini.

Mereka tidak menyebut perilaku menyejukkan itu sebagai toleransi. Mereka menyebutnya solidaritas. Sebagaimana ditulis oleh Ciku Kimeria dalam sebuah laporannya di qz.com tentang Natal di Senegal, toleransi kerap membawa makna ada sesuatu yang salah pada orang lain sehingga perlu ditoleransi. Atau ada perasaan superior pada satu pihak, yang dengan demikian harus mentoleransi pihak lain. Itu sebabnya, kata solidaritas dianggap lebih tepat.

Di Senegal, Natal dan perayaan keagamaan lainnya adalah perayaan bagi semua orang. Sebagaimana digambarkan oleh Kimeria, pada saat Natal, termasuk tahun ini, pohon Natal, Santa Claus dan berbagai ornamen Natal lainnya dengan mudah ditemui di semua sudut kota Dakar, termasuk di dalam mal dan di tengah jalan. (Tidak seperti di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, ada sweeping untuk merazia ornamen-ornamen Natal di mal).

Ini bisa terwujud karena Teranga --sebuah kata dari bahasa Wolof -- menempati nilai sangat tinggi dalam masyarakat Senegal. Teranga artinya adalah keramah-tamahan kepada sesama yang berbeda dan kepada orang asing. Ini menjadi batu penjuru kehidupan bermasyarakat.

Muncul pertanyaan, apa yang membuat Senegal demikian bersahabat dalam memupuk solidaritas di antara keragaman agama, di tengah masyarakatnya yang sesungguhnya konservatif?

Tiga Faktor Kunci

Menurut Kimeria, paling tidak ada tiga hal. Pertama, masyarakat Senegal berbagi budaya yang sama sebelum datangnya agama-agama monoteistik. Jadi agama-agama itu dipandang sebagai sesuatu yang datang belakangan, bukan yang terutama.

Kedua, adanya kontrak sosial di antara berbagai kelompok suku sebelum datangnya agama modern, yang disebut "Cousinage a plainsanterie." Ini semacam kesediaan membuka diri untuk melihat kelemahan diri sendiri melalui lelucon.

Ketiga, tingkat kenyamanan tinggi pada masyarakatnya untuk berada pada situasi ambiguitas dan penggabungan agama (sinkretisme).

Tentang yang disebut pertama, Kimeria mengatakan bahwa semua rakyat Senegal merayakan perayaan keagamaan Muslim dan Kristen bersama-sama. Di hari raya Idul Fitri, kaum Muslim mengirimi makanan kepada tetangganya yang Kristen. Sebaliknya, selama Paskah, umat Kristiani membuat Ngalakh (sejenis cemilan untuk sarapan) untuk dimakan sendiri dan dibagikan kepada tetangga Muslim mereka.  Pada Tabaski (Idul Adha), Muslim mengundang teman-teman Kristen mereka untuk berpesta daging kambing.

Ada 14 kelompok etnis di Senegal dan semuanya berbagi budaya yang sama, meskipun bahasa mereka berbeda. Warisan bersama ini sudah ada sebelum Kristen atau Islam masuk Senegal. Itu sebabnya, rakyat Senegal melihat diri mereka sendiri sebagai rakyat Senegal yang terutama, sebelum sebagai orang Islam atau orang Kristen.

Ada pun yang dimaksud dengan Cousinage a plainsanterie adalah kontrak sosial di antara berbagai suku yang ada yang memperbolehkan saling menertawakan tetapi dalam nada canda. Secara longgar hal ini diterjemahkan menjadi "basa-basi antara sepupu" mengingatkan kelompok etnis dan agama yang berbeda adalah bagian dari keluarga yang sama.

Bahkan dalam sebuah keluarga, orang dapat memiliki agama yang berbeda. Namun karena adanya "cousinage a plaisanterie," agama tidak menjadi pemecah dalam menjalin hubungan satu sama lain. Ini dapat menjelaskan  mengapa ekstremisme agama sulit mendapat tempat di Senegal.

Sinkretisme

Faktor terakhir adalah sinkretisme agama di Senegal dan tingkat kenyamanan tinggi dengan ambiguitas dan kontradiksi. Beberapa bulan lalu, Tamkharit (tahun baru Islam), dirayakan di Senegal. Selama perayaan, siapa pun akan dapat menemukan beberapa pria berpakaian sebagai wanita, beberapa wanita berpakaian seperti laki-laki.

Ini adalah sebuah festival keagamaan yang mirip dengan Halloween. Selama Idul Fitri, baik Kristen maupun Muslim menjahitkan pakaian baru untuk dipakai pada hari raya dan saling mengunjungi untuk bermaaf-maafan.

Pada tahun 2004, Ketika Kardinal Hyacinthe Thiandoum meninggal (uskup agung pertama dari Dakar), mayoritas dari mereka yang ada dalam prosesi   untuk melihat jasadnya dan memberikan penghormatan terakhir adalah Muslim. Masih ada keluarga Muslim Senegal yang menggantungkan poster gambar rohaniawan itu di rumah mereka dan mereka mencintainya sebagai pemimpin rohani yang besar.

Di Joal, kota tempat lahirnya presiden pertama Senegal, Leopold Sedar Senghor, ada kuburan tempat orang Muslim dan Kristen dimakamkan bersama-sama. Di Senegal, kata Kimeria, persimpangan antara budaya dan agama  kabur dan magis.

Sebagai kesimpulan, Kimeria, mengatakan Senegal semestinya menjadi tempat dunia bisa belajar  untuk menemukan fakta bahwa walau memiliki agama dan keyakinan yang berbeda, tidak membuat seseorang lebih atau kurang manusiawi. Ini merupakan sebuah pelajaran penting bagi siapa pun, tidak peduli apakah ia seorang Kristen, seorang Muslim, Hindu, Budha, atau atheis.

Seseorang tidak harus setuju atau berbagi keyakinan dengan orang lain, tetapi menghormatinya sebagai manusia yang layak memiliki pilihan dan menjalani hidup mereka sendiri dengan cara yang terbaik bagi mereka


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home