Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:06 WIB | Kamis, 30 Januari 2020

Sinagoge di Alexandria, Mesir, Dibuka Kembali, Tertarik Berkunjung?

Sinagoge Eliyahu Hanavi di Alexandria, Mesir, baru-baru ini dibuka kembali dengan upacara meriah. Pemulihan sinagoge ini dianggap sebagai simbol komitmen Pemerintah Mesir terhadap penghormatan pada multibudaya di negara itu. (Foto: dw.com)

MESIR, SATUHARAPAN.COM – Setelah bertahun-tahun hancur, sinagoge Eliyahu Hanavi dibuka lagi. Pemulihan sinagoge ini dianggap sebagai simbol komitmen Pemerintah Mesir terhadap penghormatan pada multibudaya di negara itu.

Sinagoge Eliyahu Hanavi di Alexandria, Mesir, sekali lagi bersinar dalam kemegahan penuh. Rumah ibadah itu baru-baru ini dibuka kembali dengan upacara meriah, setelah sekian lama dipugar. Renovasi di situs ini memakan waktu lebih dari 26 bulan. Pemerintah Mesir menginvestasikan sekitar 6 juta dollar AS (Rp82 miliar), dalam memulihkan bangunan tersebut, demikian menurut Dewan Tertinggi Benda Purbakala Mesir.

Sinagoga Eliyahu Hanavi, memiliki ruang yang cukup untuk menampung 700 jemaat dan memiliki ruang terpisah yang didedikasikan untuk penyimpanan gulungan Taurat.

Saat ini, ada sekitar 63 gulungan yang diarsipkan di sana. Bangunan itu sendiri diperbaiki berdasar pada reruntuhan sinagoge sebelumnya yang dibangun pada tahun 1354.

Situs aslinya mengalami kerusakan serius di zaman kekuasaan Napoleon, dan telah dibangun kembali pada tahun 1850.

Emigrasi Yahudi dari Mesir

Beberapa peziarah kemungkinan akan mengunjungi situs itu dalam waktu dekat. Sejauh ini hanya tinggal tersisa 20 orang Yahudi di Alexandria, jumlahnya jauh berkurang dari 40.000 anggota jemaat yang ada di sana hingga akhir tahun 1940-an. Secara keseluruhan, dulu ada sekitar 80.000 orang Yahudi tinggal di Mesir.

Kehidupan bagi orang Yahudi di Timur Tengah menjadi semakin sulit setelah proklamasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948, yang segera diikuti konflik dengan negara-negara Arab di sekitarnya.

Di Mesir, etnis Yahudi berulang kali diserang. Beberapa orang terbunuh. Situasi ini memicu gelombang pertama orang Yahudi di Mesir yang meninggalkan tanah air mereka untuk bermigrasi ke Israel.

Gelombang kedua emigrasi dimulai saat terjadi Krisis Suez pada tahun 1956, yang memicu serangan baru terhadap warga Yahudi.

Pada akhirnya, sebagian besar orang Yahudi yang tersisa melarikan diri dari negara itu setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967. Selama masa perang, militer Mesir menangkap sejumlah besar pria Yahudi yang diberi dua pilihan: Pergi dengan keluarga mereka, atau dideportasi ke kamp-kamp interniran.

Meskipun Mesir dan Israel menandatangani perjanjian damai pada musim semi 1979, langkah itu tidak banyak berpengaruh di masyarakat Mesir, sehingga membuat situasinya sangat sulit bagi beberapa orang Yahudi yang masih tinggal di sana.

Merevitalisasi Warisan Kita

Sinagoge dengan cepat hancur ketika orang-orang Yahudi di Mesir melarikan diri ke negara baru Israel. Angin dan cuaca memperburuk kondisi bangunan. Akhirnya gedung itu ditutup untuk umum.

Inilah yang membuat upaya renovasi semakin luar biasa. Pemulihan sinagoge itu sendiri dianggap sebagai simbol dari "revitalisasi warisan penting Yudaisme di Mesir setelah bertahun-tahun terabaikan," sebagaimana diungkapkan Magda Haroun, Presiden Komunitas Yahudi di Mesir, kepada majalah online Al-Monitor, yang dilansir dw.com, pada Rabu (29/1).

Haroun mengatakan, meskipun hanya tersisa sedikit orang Yahudi di Mesir, bangunan itu akan tetap menjadi situs yang penting, yaitu, "terbuka untuk semua pengunjung, dan mewakili sejarah orang Yahudi di Alexandria."

Haroun menambahkan bahwa dia, "berharap sinagoge di Mesir akan segera dibuka bagi semua, dan akan menjadi tempat yang menyemai semangat dan jiwa."

Meskipun pemulihan bangunan ini dianggap sebagai perkembangan positif, sinagoge Mesir tidak akan digunakan untuk upacara keagamaan dalam waktu dekat.

"Kita dapat menggunakannya untuk mengadakan konser atau diskusi budaya, karena tidak akan digunakan untuk upacara keagamaan," kata Haroun, mengutip sejumlah kecil umat Yahudi yang tinggal di Mesir.

Menurut tradisi agama Yahudi, untuk menggelar upacara keagamaan, setidaknya 10 pria harus hadir, dan jemaat mereka tidak memiliki cukup anggota untuk memenuhi persyaratan itu.

Kepentingan  Multibudaya

Namun demikian, sinagoge ini akan memenuhi peran penting lainnya, sebagai simbol yang menarik minat baru atas warisan multibudaya Mesir dengan mencakup sejarah Yahudi. Hal inilah yang dirujuk Menteri Purbakala Khaled al Anani saat pembukaan kembali sinagoge itu.

"Mesir adalah tempat di mana sejumlah peradaban hidup berdampingan secara damai satu sama lain selama berabad-abad, memiliki keanekaragaman budaya yang unik."

Dia menambahkan,  bahwa pemulihan dan pembukaan kembali sinagoge Alexandria merupakan sinyal kepada dunia bahwa, "Pemerintah Mesir peduli terhadap warisan semua agama."

Sejak mengambil alih kekuasaan, Presiden Mesir, Abdel-Fattah el-Sisi, juga telah berulang kali menjadi tuan rumah bagi sejumlah delegasi Yahudi.

Reaksi Israel

Pemulihan sinagoge disambut dengan antusias di Israel juga. "Kami dengan sepenuh hati menyambut upaya Mesir untuk mempertahankan situs-situs Yahudi yang telah ada di sana selama lebih dari 2.000 tahun," kata Lior Haiat, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel.

David Govrin, duta besar Israel untuk Mesir, mengunjungi sinagoge itu pada tahun 2016.

Pada saat itu, ia mengatakan bahwa "pemulihan sinagoge itu penting, karena selain merupakan bagian dari warisan kami, juga merupakan bagian dari sejarah Mesir. Sangat menakjubkan dan  (merupakan momen yang) langka untuk memasuki sinagoge tua yang begitu indah dan luar biasa. Ini adalah simbol masa lalu, masa ketika komunitas Yahudi di kota ini berkembang," katanya. (dw.com)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home