Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 18:54 WIB | Minggu, 15 Mei 2016

Tarik Buku Sejarah ’65 dan PKI, Menhan Dinilai Keluar Jalur

Ilustrasi. Aksi Kamisan ke-387 kalinya digelar di seberang Istana Negara Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Kamis (5/3) dengan mengangkat tema hukuman mati telah melanggar hak azasi manusia (HAM) yang telah dilakukan oleh negara. Para korban dan keluarga korban meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan kembali dengan adanya hukuman mati di Indonesia (Foto: Dok. satuharapan/Dedy Istanto).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah keluar jalur dan tak sejalan dengan Presiden RI Joko Widodo karena telah mengeluarkan ultimatum terkait penyisiran buku-buku dan hasil investigasi yang berhubungan dengan peristiwa 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Penyisiran sejumlah toko buku juga merupakan tindakan dan reaksi berlebihan atas fenomena kebangkitan PKI, yang justru diduga diproduksi oleh TNI konservatif berkolaborasi dengan kelompok Islam garis keras. Perintah Menhan kemungkinan keluar jalur dari apa yang diperintahkan oleh Jokowi beberapa waktu sebelumnya,” kata dia melalui pernyataan tertulis yang diterima oleh satuharapan.com di Jakarta, hari Minggu (15/5).

Menurut dia, penyisiran buku-buku tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir, berkespresi dan ilmu pengetahuan. Hendardi juga menganggap TNI sudah salah menangkap apa yang diminta oleh Jokowi yaitu penegakan hukum. Seharusnya, lanjut dia, penegakan hukum adalah tugas dari Polisi, bukan TNI.

“Perintah Jokowi untuk menegakkan hukum ditangkap oleh TNI sebagai perintah represi (keinginan untuk menyingkirkan konflik) yang sama sekali tidak mempertimbangkan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan HAM.”

Jokowi, kata dia, seharusnya menegur Menhan yang dianggap menimbulkan kegaduhan di ruang publik, kecemasan masyarakat dan mempermalukan Indonesia dengan penerapan politik represi dalam menangani persoalan bangsa.

Dia menganggap kebangkitan PKI adalah mitos karena tidak masuk akal jika kegiatan kebudayaan yang ditujukan untuk mengungkap kebenaran peristiwa melalui film, diskusi dan kegiatan lainnya justru dianggap sebagai indikator kebangkitan PKI.

Menurut dia, semua kegiatan itu ditujukan untuk meyakinkan negara mengambil sikap dan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat di masa lalu. Penegakan hukum atas sejarah 1965 dan PKI adalah tugas konstitusional dan legal yang melekat pada pemimpin bangsa, siapapun presidennya.

“Pendasaran tindakan represi dengan menggunakan sejumlah UU juga bertentangan dengan semangat reformasi yang ditunjukkan melalui pembatalan PNPS No.4 Tahun 1963 maupun Putusan Mahkamah Konstitusi yang pada  intinya memberikan pengakuan hak yang setara bagi korban PKI,  penghargaan kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain sebagainya.”

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home