Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 07:45 WIB | Selasa, 10 Mei 2016

IPT 1965: Luhut Belum Akui Tragedi 1965 Kejahatan Negara

Reza Muharam, Anggota Dewan Pengarah dari Pengadilan Internasional Peristiwa 1965 (International People’s Tribunal/IPT 1965), usai menghadiri penyerahan data kuburan massal tragedi 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 di gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, hari Senin (9/5) sore (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, belum mau mengakui bahwa tragedi 1965 adalah kejahatan yang dilakukan oleh negara.

Hal itu disampaikan Reza Muharam, Anggota Dewan Pengarah dari Pengadilan Internasional Peristiwa 1965 (International People’s Tribunal/IPT 1965), kepada awak media usai menghadiri penyerahan data kuburan massal tragedi 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 di Gedung Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, hari Senin (9/5) sore.

Ia juga mengatakan bahwa Luhut hanya melihat tragedi ini dari satu sisi, yakni dengan pendekatan konflik horizontal.

Padahal, dikatakan oleh Reza, dalam konteks ini tidak bisa hanya dilihat dalam satu sisi.

“Pak Luhut dalam konteks ini menggunakan pendekatan konflik horizontal, yaitu seolah-olah merupakan amuk spontan dari kelompok-kelompok Islam yang benci terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, tentu pembantaian terhadap pengikut PKI, simpatisan PKI, maupun orang-orang yang “di-PKI-kan” tidaklah mungkin meluas seperti itu jika tidak ada campur tangan negara di dalamnya,” tuturnya.

Ia menyatakan bahwa peranan dirinya bersama anggota organisasi masyarakat peduli korban tragedi 1965 lainnya adalah untuk membuktikan adanya kejahatan negara berdasarkan laporan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

“Peran kami di sini adalah membuktikan adanya peran atau campur tangan negara dalam tragedi 1965. Pak Luhut masih menyangkal. Dia belum mau mengakui bahwa ini kejahatan negara, sedangkan kami titik tolaknya adalah laporan penyelidikan Komnas HAM yang mengatakan ini adalah kejahatan negara atau dengan kata lain kejahatan yang disponsori oleh aparat negara,” ujar Reza.

Reza dalam kesempatan itu juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kepasifan hasrat negara untuk mengungkap secara sungguh-sungguh tragedi kemanusiaan yang telah mengendap selama kurang lebih 50 tahun tersebut.

“Sudah jelas pernah ada komando dari mantan Presiden RI, Soeharto, yang menurunkan bawahan-bawahannya ke daerah-daerah untuk melakukan pembersihan. Sudah jelas, dan kami pun cukup untuk datanya. Jadi merekalah yang bertanggung jawab. Namun masalahnya, ada tidak niat baik dari pemerintah untuk mengungkap ini semua? Pertanyaannya itu. Saya rasa itu pertanyaan seluruh warga Indonesia yang intinya ingin tahu sebenar-benarnya dan segamblang-gamblangnya. Atau kita cukup puas dengan propaganda Orde Baru yang sampai sekarang masih reproduksi?,” katanya.

Luhut tidak menyetujui internasionalisasi kasus 1965 ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Luhut selalu menekankan kita jangan sampai didekte oleh orang asing, bahwa kita bisa menyelesaikan ini sendiri, dan sebagainya. Yang dia lupa adalah kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kasus genosida itu adalah masalah internasional pada saat negara tidak mampu dan tidak ingin menyelesaikan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB harus turun tangan. Jadi, kepada Pak Luhut, simple saja, mari kita selesaikan dengan sebaik-baiknya ini supaya tidak jadi pengadilan internasional,” kata Reza.

Di tengah segala usaha yang dilakukan, Reza tetap merasa optimis bahwa kasus ini akan segera clear.

“Ya, saya optimis selesai, karena ini masalah waktu saja. Informasi soal 65 ada banyak di internet. Generasi sekarang lebih mudah mendapatkan informasi, tidak seperti zaman dulu yang masih susah mencari informasi. Ada keingintahuan dari keluarga korban yang bahkan sudah menyentuh generasi ketiga tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kita mesti mengenal sejarah kelam kita sendiri sebagai warga negara,” katanya.

Menurutnya, tragedi 1965 adalah sumber dari berbagai masalah, “Jika ini tidak diselesaikan, yang lain juga akan susah untuk diselesaikan.”

“Karena ini adalah kudeta militer (Angkatan Darat) dengan Soeharto sebagai komandannya untuk menjatuhkan presiden sebelumnya, yakni Soekarno, dengan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung utama Soekarno. Simple-nya begitu, narasi alternatif yang harus dibangun lebih ke arah sana. Dan semua itu datanya ada, silahkan browsing,” ia menambahkan.

Selain itu, Reza mengatakan ada masalah lain yang dimungkinkan membuat macet penyelesaian kasus ini. “Problem lainnya adalah bahwa masih banyak elemen-elemen Orde Baru di pemerintahan ini.”

Mungkin, dikatakan oleh Reza, “Segala usaha-usaha yang akan dilakukan pemerintah saat ini adalah untuk menangkal adanya campur tangan lembaga internasional, seperti lembaga HAM PBB.”

IPT regional akan segera merilis hasil sidang dalam penanganan kasus ini.

“Kami akan merilis hasil sidang International People’s Regional. Data kami kuat. Ada dewan hakim dan orang-orang profesional di dalamnya. Bila konklusi dari hakim menyatakan bahwa benar telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, maka data-data itu akan kami bawa ke Komisi HAM PBB. Ini diharapkan selesai menjelang tanggal 17 Agustus, karena kami pikir Pak Jokowi akan mengumumkan jalan penyelesaian kasus 65 dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya pada pidato kenegaraannya. Itu perkiraan kami,” ujar Reza.

Dalam proses ini, Reza sedang melobi para hakim internasional untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.

“Ini sesuai dengan hukum internasional yang ada. Kami hanya mengecek apakah benar telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan menurut data yang ada. Jika para panel hakim internasional menyatakan iya, maka kami punya lobi dokumen ke PBB,” tuturnya.

Dikatakan pula olehnya, apabila pemerintahan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), tidak segera membereskan hal ini, maka akan menjadi utang untuk pemerintahan selanjutnya.

“Kasus kejahatan terhadap kemanusiaan selalu begitu, selalu menjadi warisan bagi setiap pemerintahan di negara ini. Tidak pernah diselesaikan dengan baik, padahal yang peduli dengan kasus 65 ini banyak datang dari luar negeri, seperti Jerman, Prancis, Belanda, dan Amerika. Ini akan menarik perhatian PBB untuk meneliti kasus ini, dan kami akan mengusahakan itu. Namun, kami harap tidak perlu sebenarnya harus capek-capek ke PBB, tapi memang tergantung dari keseriusan pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan kasus ini,” ujar Reza.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home