Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 18:30 WIB | Jumat, 19 Februari 2016

Tolak Revisi UU KPK, Akademisi Datangi KPK

Ilustrasi. Antikorupsi (sebarkan.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diusulkan oleh DPR telah menjadi isu panas di publik. Bukan hanya aktivis antikorupsi yang menyatakan penolakan, kalangan akademisi yang terdiri dari beberapa guru besar dari berbagai lintas ilmu dan universitas juga menyatakan aspirasinya di Gedung KPK Jakarta, hari Jumat (19/2).

“UU KPK tidak perlu direvisi. Penyadapan juga tidak perlu dipersoalkan, karena dengan kewenangan itu, mudah-mudahan KPK dapat mengungkap lebih banyak kasus suap, gratifikasi, dan perbuatan perencanaan korupsi,” ujar Komariah Emong, Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Bandung.

Menurutnya, pengungkapan kasus-kasus suap akhir-akhir ini tidak terlepas dari penelusuran lewat penyadapan dan hasilnya sangat memuaskan.

“Instansi lain yang mempunyai kewenangan serupa sampai sekarang masih kurang greget. Pokoknya, jangan direvisi. KPK masih cukup kuat dengan UU yang ada sekarang,” ia menambahkan.

“Rencana revisi UU KPK yang digagas DPR selaku hak inisiatif, harus ditolak, karena ada lima poin penting yang secara sistematis akan melumpuhkan KPK. Jika itu lolos, wewenang KPK seperti melakukan penyadapan yang harus ada izin Dewan Pengawas KPK, maka KPK tidak akan punya taring lagi. Perlu dipahami, bahwa transaksi suap yang dilakukan di ruang-ruang gelap, hanya bisa dibongkar dengan menyadap telepon pelaku. Kalau DPR membentuk lembaga baru bernama Dewan Pengawas KPK yang turut mengurusi proses hukum acara dengan memberikan izin penyadapan, maka akan semakin rancu proses hukum beracara, bahkan menyimpang terlalu jauh dari sistem hukum. Saya tidak alergi terhadap revisi UU KPK, tetapi substansinya harus betul-betul menguatkan wewenang KPK. Artinya, wewenang besar yang sudah berjalan efektif seperti penyadapan tidak perlu diutak-atik, sedangkan yang lemah diperkuat seperti memberi wewenang bagi KPK untuk merekrut penyidik sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan,” ujar Marwan Mas, Guru Besar Hukum Universitas Bosowa’45.

Marwan menyatakan revisi UU KPK harus ditolak dan tidak perlu ada revisi. Anggota DPR tidak perlu takut pada keuatan KPK kalau memang tidak ada niat untuk korupsi. KPK adalah anak kandung reformasi yang diinginkan rakyat sebagai institusi khusus selain Polri dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi dengan wewenang yang besar. Korupsi hanya bisa dibongkar dan dibuktikan di pengadilan, jika ada cara-cara luar biasa yg diberikan kepada KPK seperti yang diatur dalam UU KPK (UU Nomor 30/2002).

Menurut Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Borobudur Jakarta, yang perlu menjadi catatan utama adalah UU KPK merupakan senjata utama KPK. Baik melalui penyadapan dan tiadanya kewenangan SP3 merupakan senjata utama dan sekaligus memastikan kualitas penanganan perkara KPK.

Faisal berkata bahwa dengan menghilangkan kewenangan tersebut ibarat menggelar karpet merah bagi koruptor, memberikan fasilitas dan kemudahan bagi koruptor, sehingga merevisi UU KPK dengan menghilangkan atau mengurangi kewenangan penyadapan serta memberikan kewenangan SP3 hanya upaya mencabut gigi taring KPK dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia.

“Semangat melakukan Revisi UU KPK itu secara ideal substansinya juga harus benar-benar memperkuat KPK, tapi kalau faktanya  lebih banyak memperlemah KPK sebaiknya tidak usah dilakukan Revisi UU KPK. Dari sejunlah usulan krusial dalam Naskah Revisi UU KPK  yang ada, baik dari pemerintah maupun DPR, terkesan semangatnya memperlemah KPK,” ucap Hamdi Muluk, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia.

Hamdi mengatakan ada tiga hal yang krusial perlu menjadi perhatian. Pertama, independensi KPK harus dijaga, keberadaan dewan pengawas mungkin memgurangi independensi KPK. Kedua,  Penyadapan itu Kekuatan KPK, jangan dihilangkan atau dihambat. Ketiga, pengangkatan penyidik diluar jaksa dan polisi perlu didorong, untuk mendukung independensi KPK.

“Satu-satunya harapan berada pada Presiden Jokowi. Presiden Jokowi pertama-tama harus melakukan konsolidasi semua partai politik pendukung pemerintahan Jokowi untuk menolak rencana Revisi UU KPK. Kedua, Presiden Joko Widodo harus memastikan menteri yang mewakili di DPR benar-benar sejalan dengan sikap Presiden. Ketiga, Presiden harus menolak memberikan persetujuan bersama,” kata Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang.

Guru besar University of Melbourne, Todung Mulya Lubis, juga menyerukan bahwa  KPK merupakan anak kandung dari reformasi yang menjadi tumpuan kita sebagai masyarakat. “KPK tidak boleh sedikit pun melemah. Upaya pelemahan KPK, baik melalui MK, melalui DPR, dan lembaga-lembaga lain dan itu tidak boleh terus terjadi.”

“Kewenangan yang dimiliki KPK berbeda dengan lembaga penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung.  Penyadapan ini yang menjadi marwah KPK dalam membantu proses menemukan dua alat bukti. Jangan mereduksi kewenangan KPK,” kata Indriyanto Seno Adji,  Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krinadwipayana.

“Kesimpulannya, revisi UU KPK yang arahnya untuk melemahkan KPK, sama sekali tidak dapat ditolerir,” kata Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kehutanan Institut Perhutanan Bogor.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home