Loading...
INSPIRASI
Penulis: Pijar Kurniawan 09:03 WIB | Selasa, 30 Oktober 2018

Tragedi Senin Pagi

Risiko akan selalu ada, namun tingkat keterjadian dan dampaknya dapat dikurangi apabila perhitungan dan perencanaan yang akurat dilakukan.
Mengarungi angkasa (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Jutaan pasang mata baru saja terbuka menyambut sinar surya yang menyusupi celah-celah jendela ruangan. Aroma masakan memenuhi tempat tinggal yang berisi beberapa orang dengan perut lapar ingin segera mengecap sarapan. Beberapa lainnya sedang menata penampilan, bersiap untuk bertolak ke tempat beradanya mata pencaharian.

Di tengah keteraturan pada Senin pagi 29 Oktober 2018 itu, tragedi dialami oleh ratusan penumpang pesawat Lion Air JT 610 yang lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta pukul 06.10 WIB menuju Pangkal Pinang. Kabar jatuhnya pesawat  di perairan Karawang tersebut, sontak memecah keteraturan, memenuhi tajuk utama berita cetak maupun elektronik dan grup-grup whatsapp se-Indonesia. Belum kering air mata Pertiwi setelah musibah Lombok, Palu, Sigi, dan Donggala, Tanah Air harus kembali menanggung duka. Pedih luar biasa.

Kondisi geografis Indonesia menjadikan moda transportasi udara sebagai pilihan utama bagi penumpang yang bekerja di luar pulau domisili keluarganya. Penerbangan Senin pagi pun jadi primadona bagi penumpang yang kembali ke perantauan setelah melepas rindu dengan keluarga pada akhir pekan. Tak jarang sanak saudara mengantar ke bandara hingga mata tak dapat lagi saling memandang hanya karena selain penumpang tidak boleh masuk ke dalam. Pejuang PJKA (Pergi Jumat Kembali Ahad) pasti paham nikmat dan getirnya momen kembali ke medan kerja dengan meninggalkan keluarga.

Kondisi tersebut seyogianya mendapat perhatian khusus para pemangku kepentingan di bidang penerbangan. Jasa angkutan melalui udara yang sudah semakin terjangkau seharusnya tetap memperhatikan aspek pelayanan, tanpa mengompromikan keselamatan. Risiko akan selalu ada, namun tingkat keterjadian dan dampaknya dapat dikurangi apabila perhitungan dan perencanaan yang akurat dilakukan.

Pada saat pemangku kepentingan mengerahkan segala daya dan waktu untuk melakukan evakuasi dan evaluasi, bagi kita yang tidak memiliki daya untuk terlibat langsung mari menyisihkan waktu untuk berdoa. Bagi kita yang tidak mampu memberikan pelukan hangat bagi para keluarga korban, kita masih bisa berdoa. Bagi kita yang sama sekali tidak mengenal para korban maupun keluarga korban, kita masih diperbolehkan berdoa.

Ketika handai taulan melontarkan salam—”Hati-hati ya!”, ”Have a safe flight.”, dan ”Semoga selamat sampai tujuan!”—kita mestinya menyadari bahwa ungkapan tersebut adalah doa. Dan bisa jadi itu doa biasa, yang terakhir masuk ke telinga kita.

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home