Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 09:01 WIB | Sabtu, 05 April 2014

Tulang-tulang Berserakan

Lazarus mendengarkan Suara Yesus (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi/Tidak bisa teriak ”Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Demikianlah bait pertama puisi-saduran Krawang-Bekasi karya Charil Anwar. Penyair  lugas memperlihatkan kenyataan: mayat-mayat yang terbaring antara Krawang-Bekasi tak mungkin lagi ngomong, apa lagi perang. Baik jenderal maupun kopral, direktur maupun karyawan, anggota majelis maupun warga jemaat; saat menjadi mayat, ya tak mungkin berbuat apa-apa.

Dalam bait lainnya, penyair paham betul apa artinya kematian. Dia menulis: Kami cuma tulang-tulang berserakan. Ya, apa artinya tulang? Chairil pun merasa perlu menyisipkan kata ”cuma”. Tulang-tulang yang masih bertaut satu sama lain pun, tiada guna; apa lagi yang berserak tak keruan.

Akhirnya Chairil Anwar menutup puisinya dengan: Kenang-kenanglah kami/Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.Dan itulah yang disaksikan Yehezkiel. Umat Israel, sebagai bangsa buangan di negeri asing, nasibnya tak beda jauh dengan kumpulan tulang kering itu: mati, tanpa pengharapan, tak tahu harus berbuat apa.  

Di Babel mereka menjadi bangsa kelas dua. Belum lagi soal bahasa, mereka terpaksa menggunakan bahasa asing. Israel tidak dapat mengembangkan dan memajukan budaya dan bahasa mereka sendiri. Namun, Tuhan berkenan menghidupkan kembali keberadaan Israel sebagai bangsa.

Caranya? Mendengarkan suara Allah. Yehezkiel berkata kepada tulang-tulang  itu: ”Hai tulang-tulang yang kering, dengarlah firman Tuhan.” (Yeh. 37:4). Dan tulang-tulang kering yang berserakan itu menjadi makhluk hidup. Tak sekadar hidup secara jasmani, tetapi juga hidup secara rohani. Sekali lagi, tulang-tulang berserakan itu menjadi hidup tatkala mendengarkan suara Allah.

Itu pulalah yang terjadi di Betania (Yoh. 11:1-45). Di sana ada kebangkitan orang mati. Yesus membangkitkan Lazarus. Tetapi, yang lebih penting daripada itu: Yesus adalah Pribadi yang menghendaki kehidupan dan bukan kematian manusia. Buktinya, Yesus menangis ketika menyaksikan akibat kematian Lazarus bagi saudara-saudaranya.

Dan kehidupan terjadi tatkala manusia mendengarkan firman Allah. Sejatinya: dosa muncul tatkala manusia lebih suka mendengarkan suaranya sendiri. Ketika manusia mengabaikan kehendak Allah, dan hanya menuruti keinginannya sendiri, pada saat itulah kematian kekal mengancam.

Dalam peristiwa kebangkitan Lazarus, kematian ternyata tidak menutup pendengarannya bagi sabda ilahi. Saat Yesus menyuruhnya keluar, dia taat. Nah, Lazarus yang sudah mati saja patuh kepada Allah, masak kita kagak?

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home