Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 19:51 WIB | Kamis, 26 Desember 2013

2013: Hukum Pagar Makan Tanaman

SATUHARAPAN.COM – Indonesia  melewati  hari-hari Tahun 2013 dengan catatan yang cukup panjang tentang figur-figur di pemerintahan yang menghadapi perkara pidana, khususnya yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Catatan ini sebagian merupakan kelanjutan dari kasus-kasus pada tahun sebelumnya.

Sebagian besar kasus korupsi yang marak terungkap dan di proses dalam tahun ini melibatkan pejabat-pejabat yang justru mengemban amanat untuk menegakkan hukum, mewujudkan supremasi hukum dalam tata negara dan tata pemerintahan. Mereka  menggunakan wewenang dan amanat itu untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok dengan membengkokkan hukum.

Oleh karena hal-hal itu, tahun 2013 ini bagi Indonesia hukum dan keadilan seperti berjalan terbalik. Karena yang marak melanggar hukum adalah mereka yang berada pada posisi tinggi untuk menegakkan hukum, seperti pagar makan tanaman. Pagar yang seharusnya untuk menyelamatkan tanaman justru yang merusak tanaman.

Siapa Mereka?

Anggota parlemen, adalah figur-figur yang duduk di lembaga legislatif yang mengemban amanat membuat Undang-undang (UU), namun banyak deretan nama dari lembaga ini di pusat (DPR) dan di daerah  (DPRD I dan II) yang harus masuk bui, sedang diselidiki atau disidik karena perkara pidana.

Mereka diberi wewenang dan mandat untuk membuat hukum yang adil yang sejalan dengan konstitusi, tetapi kewenangan itu disalahgunakan, bahkan dijadikan alat untuk memeras dan korupsi. Maka, banyak kasus korupsi yang selalu menyebutkan nama anggota parlemen.

Kasus di daerah, seperti pembangunan sarana olahraga di Riau, sebagai contoh, segera  melibatkan nama-nama dari anggota DPRD setempat. Kasus suap di SKK Migas yang melibatkan Wakil Menteri ESDM, dengan segera menyebut nama-nama anggota DPR. Demikian juga kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus korupsi simulasi SIM, apalagi kasus yang dimualai dari anggota DPR sendiri, seperti yang melibatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat, Muhammad Nasaruddin.

Korupsi sebagian besar juga melibatkan pejabat di lembaga eksekutif. Ratusan mantan dan pejabat  bupati, wali kota, gubernur, menteri dan wakil menteri sedang menghadapi kasus karena tindak pidana yang masuk kategori kejahatan luar biasa. Mereka juga pengemban amanat pelaksanaan konstitusi dan UU, dan mengucapkan sumpah untuk itu.

Tiga Pilar Korupsi

Pada tingkat ini, pembuat dan pelaksana UU (eksekutif dan legislatif) terlibat persekongkolan untuk membuat keadilan berjalan terbalik. Parlemen yang juga bertugas mengawasi pelaksanaan pemerintahan oleh eksekutif menjadi bagian dari komplotan yang mengkhianati rakyat.

Praktik korupsi di Indonesia menjadi makin masif, justru karena juga melibatkan para aparat penegak hukum, yaitu polisi jaksa dan hakim. Perilaku korup mereka membuat perkara-perkara yang diungkapkan tidak dibongkar, hukum dan keadilan tidak dijalankan. Yang terjadi adalah koruptor yang tertangkap hanya “sedikit sial”, dan hukuman bagi mereka bahkan lebih ringan dari pencuri sepeda motor.

Yang mengkhawatirkan justru mereka menjadi bagian dari yang melindungi korupsi, sehingga sebenarnya koruptor-koruptor yang “tak tersentuh” masih banyak yang gentayangan dan terus menjarah uang rakyat.

Legislatif, eksekutif dan yudikatif yang disebut tiga pilar demokrasi, justru tengah tampil sebagai tiga pilar korupsi. Bahkan sejumlah warga bangsa menuliskannya sebagai “Trias Coruptica” sebuah pelesetan sinis dari “Trias Politica.”

Tamparan yang paling telak terhadap Indonesia adalah ketika Ketua Mahkamah Kontitusi juga terlibat membengkokkan keadilan dengan suap pada perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Ini benar-benar pagar makan tanaman. Sebelumnya ada hakim agung, yang perilakunya sangat tidak agung dengan mengubah putusan, selain jaksa yang terima suap, dan jenderal polisi yang menjadi aktor utama korupsi.

Modal Sosial dan Spiritual

Kasus-kasus yang diungkap sejauh ini diyakini hanyalah puncak gunung es yang besar dari pelanggaran hukum oleh mereka yang mendapat mandat membuat hukum dan aturan, yang melaksanakan hukum dan aturan dan yang menegakkan pelaksanan hukum dan aturan.

Hal itu adalah musuh besar bagi negara dan bangsa ini. Namun di mana musuh besar ini menumbuhkan ekuatannya? Dalam konteks seperti ini, kita memang mempertanyakan tentang moralitas, spiritualitas, dan religiusitas para pemimpin kita.

Masalah bukan pada hukum dan aturan, masalah adalah pada komitmen para pemimpin kita. Mereka bukanlah manusia yang tidak tahu hukum, bahkan sangat tahu. Mereka juga bukan jenis anak bangsa yang  dalam situasi kekurangan  sehingga harus mencuri milik rakyat dan negara, bahkan banyak dari mereka jenis anak bangsa yang berkelimpahan harta.

Hipokrit, munafik adalah masalah serius bangsa ini. Mereka sering berdalih demi hukum dan keadilan, tetapi membenggokkan hukum dan membuat keadilan terbalik. Kemunafikan membuat “pagar” tanpa malu “memakan tanaman” dan tanpa merasa bersalah.

Bercermin pada perjalanan tahun 2013, bangsa ini harus menyadari bahwa modal sosial dan modal spiritual kita jeblok, khususnya di tingkat elite dan pemimpin, dan hal itu adalah sumber malapetaka dan keterpurukan selama ini. Sayangnya, tidak ada tanda geliat serius untuk mengatasinya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home