Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 21:58 WIB | Minggu, 09 Juni 2013

486 Tahun Jakarta: Perlu Berbagi Dengan Kota Lain

Monumen Nasional di pusat kota Jakarta, 2013. (Foto: dok. satuharapan,com)

SATUHARAPAN.COM -  Tahun ini Jakarta memasuki usia ke-486 tahun. Kota yang dihuni sekitar 10,2 juta jiwa ini merupakan bagian yang paling dekat dengan denyut kehidupan Indonesia. Sepanjang sejarah  Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 hingga sakarang, Ibu kota negara ada di Jakarta, kecuali pada 1946 – 1949 untuk sementara pindah ke Yogyakarta.

Jakarta telah menjadi saksi penting perjalanan Indonesia, yang buruk dan yang baik; para nasionalis yang setia pada negara, tetapi juga para pengkhianat yang mengancam keutuhan Indonesia. Bahkan Indonesia telah menjadi ibu kota bagi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jakarta adalah ibu kota pemerintahan, tempat di mana istana presiden berada, tetapi juga semua kantor menteri, markas besar kepolisisan, markas besar tiga angkatan dalam Tentara Nasional Indonesia, dan hampir semua lembaga yang berskala nasional berbasis di Jakarta, serta kedutaan besar negara sahabat.

Jakarta juga ibu kota politik. Semua partai politik nasional berkantor di kota ini, bahkan banyak hal dalam politik ditentukan dari Jakarta. Jakarta ikut mengontrol penetapan calon bupati,walikota, gubernur, dan calon anggota legislatif. Politisi yang “bintangnya bersinar” harus meninggalkan daerah dan masuk ke Jakarta.

Jakarta juga pusat keuangan. Semua bank berkantor pusat di Jakarta, bahkan diperkirakan aliran dana lebih besar ke Jakarta daripada ke daerah. Pembangunan yang dilakukan di daerah, dan otonomi daerah tidak bisa mengubah arus aliran uang. Demikian juga uang beredar sebagian besar ada di Jakarta. Jakarta juga menjadi puat perdagangan. Berbagai produk mengalir terutama ke Jakarta, dari luar negeri maupun dari daerah. Jakarta merupakan kota dengan supermarker paling banyak.

Jakarta yang luasnya  740,3 kilometer persegi dan setiap kilometer persegi dihuni 14.000 jiwa, merupakan yang terpadat di Indonesia, juga merupakan pusat pagi berbagai kehidupan sosial dan budaya. Seniman banyak yang merasa lebih “tinggi” ketika berlabel “seniman ibu kota”, menampilkan karya di ibu kota merupakan langkah penting pada anak tangga kesenimanan. Media massa pun “berkiblat” ke Jakarta, bahkan “Jakarta centris.”

Dalam bidang sosial, label Jakarta menjadi penting. Karyawan perusahaan swasta atau BUMN di Jakarta diberi posisi “lebih” ketimbang yang di daerah. Berkarir di Jakarta menjadi impian kebanyakan orang Indonesia. Dan Jakarta menjadi magnet migrasi penduduk. Setiap malam, penduduk Jakarta pada angka 10,2 juta, tetapi pada siang hari bahkan diperkirakan mencapai lebih dari 13 juta, karena dimasuki para pelaju dari Bogor, Tengerang, Depok, dan Bekasi. Bahkan tak jarang di daerah-daerah mereka yang tinggal di Bodetabek pun disebut secara naif sebagai  “orang” Jakarta juga.

Jakarta telah menjadi “segala-galanya”. Hal itu bukan hanya pada hal-hal positif, tetapi juga hal-hal yang negatif. Jakarta juga menjadi nomor satu dalam ketidak-disiplinan berlalu lintas dan kemacetan nya, juga kasus kriminal dan korupsi. Bahkan sangat mungkin problem urban yang dihadapai Jakarta adalah yang terberat dan terparah dibandingkan kota lain.  Hal ini menyangkut pendataan penduduk, tata ruang, pencemaran lingkungan, masalah kesehatan (fisik dan jiwa), serta relasi sosial dan keamanan.

Semua itu merupakan konsekuensi bagi Jakarta ketika diposisikan untuk “segala-galanya” dalam konteks Indonesia. Hal ini adalah beban yang tidak mudah yang dihadapi Gunernur, Joko Widodo, dan Wakilnya, Basuki Tjahja Purama. Bahkan kemungkinan Jakarta tidak bisa melepaskan diri dari begitu banyak masalah selama posisinya masih seperti sekarang. Berbagai aspek dan bidang terus tumbuh, dan makin pesat namun wilayah Jakarta akan tetap 740 kilometer persegi. Beban untuk wilayah ini akan semakin berat, dan masalah semakin tidak mudah diatasi.

Untuk itu, Jakarta harus berbagai sebagai “pusat” dengan kota lain. Masih banyak kota di seluruh Indonesia yang bisa dijadikan “pusat”. Hal itu harus dilakukan dengan kemauan yang serius. Kalau tidak, Jakarta tak lagi mampu menanggung beban dan akan timbul ledakan masalah sosial. Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan oleh otorita Jakarta, tetapi otorita Indonesia. Oleh karena itu, kita membutuhkan kepemimpinan Indonesia yang melihat cakwarala lebih luas untuk bangsa ini yang terbentang dari Sabang sampai Merouke, bukan hanya Jakarta, apalagi secara naif hanya orang-orang di sekitarnya. Hal itu akan menolong Jakarta dan Indonesia sekaligus?


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home