Loading...
INSPIRASI
Penulis: Katherina Tedja 01:00 WIB | Minggu, 17 Agustus 2014

69 Tahun Merdeka

Merdeka (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Benar!  Enam puluh sembilan tahun telah berlalu, ketika kita menyandarkan bambu runcing amis bernoda darah, dan menduduki negeri gemah ripah loh jinawi sebagai tuan atas tanah sendiri. Kolam susu—demikian sang pemusik legendaris menyebutkannya—tanah surga, tempat tongkat, batu, dan kayu pun bisa menjadi tanaman…. Lengan pemuda bangsa masih lengket oleh keringat, kotor dan legam oleh debu, dengan canggung meraih cangkul, pena, buku, mesin ketik… Sebuah negara muda tengah membangun diri untuk menjadi besar!

Kini, enam puluh sembilan tahun sudah, kita menjadi pemilik bumi kita sendiri. Gedung-gedung menjulang menggapai langit, berdiri angkuh menjadi pandu Ibu Pertiwi… mobil-mobil mewah perkasa melintas tersendat-sendat di jalan padat. Pusat perbelanjaan megah memaklumatkan daya beli bangsa.

Namun di sisi lain, banyak yang terlunta-lunta, mata hampa, tangan meminta. Masih ada yang mengais sisa demi menyambung sejengkal kehidupan. Kanak-kanak meninggalkan sekolah untuk berjualan di depan pagarnya, juga di jalan raya. Mereka mendamba, mengintip dari balik pagar, kehidupan yang tak tergapai.

Ini negara demokrasi. Setiap orang bebas mengupayakan kesejahteraan dan menikmatinya. Lalu orang-orang pun berlomba menimbun kekayaan, meski hidup begitu singkat, namun harta mesti menggunung untuk tujuh turunan. Mata-mata musuh zaman lampau, pengkhianat bangsa yang menjijikkan, bersulih rupa menjadi wajah tampak tulus, cerdas, berwibawa, berkendara tunggangan mahal setara biaya hidup ribuan orang. Belum lagi jika menghitung apa yang dikenakan tubuh sang korup, bak majalah mode berjalan, dari atas hingga bawah, terhirup bau uang cemar dan darah orang yang haknya terzalimi.

Bahkan ketika itu murni hasil tetes keringat sendiri, dan buah halal pemikiran cemerlang… tidakkah nasi harum legit yang sedang dikunyah terasa kerikil, mengingat begitu banyak tubuh menggigil menahan lapar? Tidakkah tilam impor nyaman dua belas lapis yang menjadi peraduan serasa  duri, mengetahui di luar sana tubuh papa terbaring di atas secarik koran. Masihkah istana kebanggaan sedemikian berkesan, terlebih ketika kemegahannya bersanding dengan gubug kumuh tidak seberapa jauh yang hampir tiarap? Mana itu keadilan, mana itu kesejahteraan bersama, mana ketundukan kepada Tuhan, mana belas kasih, mana bela rasa?

Inikah negeri impian yang ingin diwujudkan? Negeri kemaruk dan garang, yang tidak punya hati apalagi kepedulian? Bangsa berkedok keramahan dengan carut marut dibelakangnya? Tidak… tidak begitu. Sejumlah nurani menggeleng dan mendesah gelisah. Apalah artinya nurani yang terus berkata-kata? Kita perlu bertindak. Bertindak, Bung!

Enam puluh sembilan tahun kita menjadi bangsa yang bebas. Namun, perjuangan belum berhenti.  Selamat berjuang! Merdeka!

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home