Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 05:04 WIB | Senin, 22 Oktober 2018

Abaikan Mereka Yang Memantik Api Amarah

”Bagi kebanyakan orang, menyalakan bara amarah dalam hati merupakan hal mudah, namun mengabaikan dia yang memicu amarah seharusnya lebih mudah” (Zybejta Marashi).
Dikuasai amarah (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Mengelola amarah! Betapa banyak penduduk metropolitan membutuhkannya.

Contohnya berikut ini. Suatu pagi, saat putri saya mengemudi dan saya duduk di sampingnya, seorang pengendara motor ngotot ingin mendahului dari sisi kiri di belokan ke kiri. Ia tak berhasil karena ruang yang tersedia terlalu sempit. Ia mengerem dengan mendadak, karena hampir terjepit, lalu marah kepada pengemudi mobil yang menghalanginya.  Setelah melewati tikungan itu ia berusaha menyusul kendaraan kami, lalu memukul mobil kami dari belakang, mengeluarkan kata-kata amarah yang tidak dapat kami dengar, lalu dengan kencang melaju meninggalkan kami.

Perilaku penduduk ibukota yang tidak jarang kita temukan. Sementara amarahnya mungkin semakin menjadi dan ditumpahkan kepada orang lain, kami berdua hanya saling memandang dan terheran. Dalam bayangan saya, orang seperti itu bukan pribadi yang kita sukai untuk menjadi teman. Marah kepada orang lain ketika dia merasa dirugikan, padahal dia sendiri yang salah?  

”Come on, give me a break!” mungkin demikianlah komentar orang yang berkesempatan mengamati kejadian-kejadian serupa. Si Pemarah sesungguhnya punya persoalan dengan diri sendiri, yang tidak selesai. Dikiranya dengan marah, persoalannya akan selesai. Ternyata makin jadi parah. Mengapa? Karena tak mungkin simpati dan afeksi akan diterima oleh orang yang menebar amarah terus-menerus.

Malah sebaliknya, orang akan menjauh dari dirinya. Manalah orang akan nyaman bergaul dengan seorang yang senantiasa menebar suasana hati negatif? Dunia jadi tampak suram, perjalanan menuju kebaikan serasa sulit tercapai, yang ada hanyalah pesimisme.

Nyatanya, amarah itu ibarat menggenggam bara panas di tangan dengan niat untuk melemparkannya kepada orang lain, namun ternyata tangan sendiri yang terbakar. Itu adalah  kata-kata bijak Budha Gautama. Tak ada manfaatnya mengumbar amarah. Yang rugi bukan orang lain saja. Diri sendiri paling rugi.

Bahkan penulis cerita Ambroce Bierce berkata, ”Berbicaralah dalam amarah Anda, maka itu akan menjadi pidato yang paling cocok untuk disesali di kemudian hari.” Pada saat dikuasai amarah, kata-kata yang dihamburkan hampir pasti adalah kata-kata yang tidak dipikirkan matang.

Eleanor Roosevelt, isteri Presiden Amerika Serikat pada masa Perang Dunia II, bahkan bisa mengutarakan berdasarkan pengalamannya sendiri: ”Tak seorang pun dapat membuatku marah kecuali aku sendiri mengizinkannya.” Yang membuatku marah bukanlah orang lain, melainkan diriku sendiri. 

Ibaratnya, orang lain bisa berbuat apa saja terhadapku, tetapi selama aku tak menanggapinya, maka amarah tak akan terpicu. Nasihat bapak Marashi seperti dikutip di awal tulisan ini, mestinya lebih berguna: ”Abaikan mereka yang memicu amarah, jangan ladeni.”

Pada masa-masa sekarang ini, khususnya di kota besar, kehidupan memang sering terasa menekan. Tuntutan pekerjaan, lingkungan, mudah sekali memancing amarah. Sangat alami. Sangat manusiawi. Namun apakah marah menguntungkan? Sesungguhnya, marah dalam keadaan stres itu ibarat niat membersihkan sesuatu dengan kotoran. Bukannya tambah bersih malah tambah kotor.

Obat terbaik bagi amarah adalah menunda. Tundalah berkata  ketika sedang marah. Sebab saat dikuasai emosi, kata-kata yang dikeluarkan memiliki potensi merusak yang dahsyat. Tundalah bertindak, karena tindakan yang tergesa-gesa dilakukan saat sedang dikuasai amarah, hanya akan membawa ke arah yang salah. Dengan perkataan lain, obat paling mujarab bagi pengelolaan amarah adalah pengendalian diri.

”Sikap bijaksana mengelola amarah adalah membunuh amarah itu sendiri, sebelum amarah itu membakar hangus kedamaian hati dan sukacita diri sendiri.” Demikian pandangan Dada Vaswani, pemimpin Hindu kharismatis dari India yang baru saja meninggal dunia beberapa bulan lalu pada usia  100 tahun kurang 2 minggu.

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home