Loading...
INSPIRASI
Penulis: Darwin Darmawan 08:50 WIB | Jumat, 26 Oktober 2018

Berdukacita, Mengapa Berbahagia?

Orang yang tidak pernah berduka, mata hatinya tidak bisa memandang secara jernih siapa Tuhan dan dirinya.
Menangis (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Pernahkah Saudara kehilangan orang yang dikasihi? Saya pernah. Rasanya berat sekali.  Curahan air mata tidak mampu mengusir duka yang ada. Momen itu  ingin segera saya lewati. Sayangnya, waktu rasanya berjalan selambat siput. Maka, sangat membingungkan jika Tuhan  Yesus mengatakan bahwa orang yang berduka cita itu berbahagia (Mat. 5:4). Mengapa? Apa alasan Tuhan mengatakannya? 

Duka cita umumnya ditandai dengan tetesan air mata. Apa betul air mata yang menetes membuat bahagia? Saya terkejut ketika mengetahui, air mata sesungguhnya  sangat amat berguna. Dalam air mata, ada bagian yang disebut Lisozom, yang dapat membunuh hampir 85 persen bakteri di mata. Air mata juga mencerahkan mata. Mata  yang kering akan berbahaya. Ia perlu air agar lebih sehat dan cerah.  Orang yang mengeluarkan air mata juga  terhindar dari stres  karena ada unsur darinya yang dapat meregulasi metabolisme. Terakhir, air mata yang tercurah dapat membuat mood seseorang meningkat.

Fungsi air mata di atas bisa kita lihat secara rohani juga. Orang yang tidak pernah  berduka, mata hatinya tidak bisa memandang secara jernih siapa Tuhan dan dirinya. Mengapa? Sebab ia  terhalang oleh kotoran  arogansi. Ia juga dibutakan oleh optimisme berlebih pada kekuatan diri.

Saya mengenal, ada orang kaya  yang sombong  menjadi rendah hati ketika hartanya habis saat ia ditipu rekan bisnis. Ia berduka. Ia stres. Ia frustasi. Ia menangis lama! Akan tetapi dalam situasi seperti itu, ia justru berkesempatan untuk datang kepada Tuhan dan memohon penghiburan-Nya.  

Dalam keadaan itu ia menjadi sadar, dirinya manusia, bukan setengah dewa. Ia rapuh  karena terdiri atas tubuh dan darah yang fana. Ia tidak berkuasa mutlak atas hidupnya sendiri dan keluarga. Ia bisa ditipu,  kehilangan, dan  dikecewakan.

Namun, justru kesadaran ini menolong ia terbuka terhadap kuasa dan penghiburan Tuhan. Ya, Tuhan yang berkuasa dan mampu menghibur dia. Tuhan yang sanggup melakukan segala perkara! Setelah mengalami itu, ia kini menjalani hidup yang (lebih) bahagia.

Dimaknai seperti itu, saya menjadi paham kenapa Tuhan Yesus mengatakan, orang yang berduka cita itu berbahagia karena ia akan dihibur.

Saya jadi berpikir,  apakah bangsa Indonesia juga perlu benar-benar merasakan duka cita  karena korupsi, ketidakadilan, perpecahan,  supaya masyarakatnya benar-benar sadar, lalu datang sungguh-sungguh kepada Tuhan?

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home