Loading...
OPINI
Penulis: Denni H.R. Pinontoan 22:03 WIB | Rabu, 29 Mei 2013

Agama (-agama) dan Lokalitas

SATUHARAPAN.COM - Agama-agama memang lahir dari konteks lokal. Kristen bermula di Antiokhia, sebuah kota dagang yang makmur di atas sungai Orontes, bagian utara Siria, provinsi Romawi. Agama Islam yang menyusul kemudian, lahir pada abad 7, juga dari sebuah konteks lokal, yaitu jazirah Arab. Abdurahman Wahid alias Gus Dur mengatakan: ”Al Qur’an sendiri, sebagai sumber utama pemikiran kaum muslimin dan sendi ajaran Islam sebenarnya berwatak lokal...”(Abdurahman Wahid, 2007)

Agama-agama yang dari lokal inilah, karena tuntutan misinya, kemudian menyebar mengikuti perangkat dan jalur perdagangan dan ekspansi wilayah secara politis ke seluruh belahan dunia. Hampir dua milenium lamanya agama-agama berproses yang membuat mereka menjadi agama global, agama masyarakat bumi.

”Lokalitas” secara etimologis berasal dari kata Latin, locus (untuk pluralnya ditulis loci) yang berarti ”tempat”, ”posisi” atau sesuatu yang menunjuk pada bagian, tempat atau posisi yang lebih spesifik. ”Lokalitas” adalah ruang dan waktu, ia adalah context yang kompleks dan rumit. Ia adalah context untuk tenunan, jalinan sejarah, mitos, budaya, identitas dan dinamika sosial, politik, ekonomi dari awalnya hingga hari ini.

Pernah nasib ”lokalitas” ini memprihatinkan. Ia menjadi obyek untuk dijajah, ditaklukkan di zaman kolonialisme. Tapi ia juga adalah obyek untuk ditobatkan oleh agama-agama pada masa Islamisasi dan Kristenisasi demi konversi. Lokalitas menjadi obyek untuk dinilai secara moral, dan kebanyakan ia disamakan dengan ”kebodohan”, ”keterbelakangan”, ”kejorokan” dan ”kekafiran”.

Di Indonesia, di era Orde Baru, ”lokalitas” dilihat secara politis. Ia diperlakukan sebagai sebuah entitas yang mengancam negara. Makanya, di masa itu “orang-orang daerah” takut atau penuh dengan kehati-hatian ketika bicara “lokalitas”-nya. ”Lokalitas” juga didestruksi oleh proyek nasionalisme, proyek ”NKRI harga mati”. Dalam konteks global, “lokalitas” dihancurkan oleh kapitalisme, juga dogma tunggal kekristenan Barat.

Lokalitas vs. Agama Populer

Hari ini, romantisme tentang sejarah akulturasasi, kontektuaslisasi yang menghasilkan hibridasi – yang sering secara negatif disebut ”sinkretisme” – agama-agama dengan lokalitas itu diperhadapan dengan fakta ekspansi kelompok-kelompok keagamaan transnasional, baik di Islam maupun di Kristen yang militan, konservatif dan puritan.

Kelompok-kelompok agama ini masuk dengan pola-pola dan metode dagang. Sistem ”pemasarannya” mengadopsi sistem ekonomi modern, komoditinya adalah surga, neraka, kesucian, keselamatan, dll. Media massa juga ikutan mendukung. Lihat saja sinetron-sinetron rohani marak di televisi swasta, yang sangat kontras dengan berita korupsi, pejabat yang cabul, suksesi dengan uang korupsi, pelanggaran HAM, dan banyak persoalan kemanusiaan yang lain lagi.

Dagang agama menjadi fenomena pada apa yang disebut era ”agama populer”. Istilah ”agama populer” menunjuk pada perilaku dan fenomena keagamaan, di mana kehadirannya memakai perangkat dan metode budaya populer: fashion, cara penampilan para pemimpin agamanya dalam khotbah, buku-buku terbitan yang memakai bahasa populer, dakwah atau penginjilan yang dikemas seperti kemasan barang dagangan, dll.

Di saat yang sama, ada semacam pengabaian pada persoalan lokalitas oleh agama-agama ini. Ada persoalan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua; ada kerusakan lingkungan hidup akibat masuknya perusahaan-perusahaan tambang transnasional; ada kemiskinan akibat penggusuran, marginalisasi, eksploitasi tenaga manisia dan sumber daya alam, dlsb.

Beragam persoalan yang mendatangkan penderitaan, ketidakadilan, diskriminasi dan kerusakan lingkungan hidup mestinya menjadi konteks keprihatinana agama-agama. Ada kerinduan agama-agama kembali mesra dengan konteks lokalnya yang semakin beragam, akrab dengan kearifan-kearifan budayanya atau hidup dan bertumbuh bersama dinamika masyarakat lokal.

Mendesak bagi agama-agama untuk tidak hanya mau nyaman dalam ruang orthodoksi ajarannya. Agama-agama mestinya menstransformasi nilai-nilai keagamannya menjadi tindakan yang benar (orthopraksis) demi misi mulianya, yaitu pembebasan. Agama-agama, perlu menuju pada sebuah tatanan baru, semangat baru.

Dalam artikelnya, “Agama dan Demokrasi” yang terbit dalam buku Spiritualitas Baru, Agama dan Aspirasi Rakyat (2004), Gus Dur merumuskannya begini: “Tatanan baru itu adalah tahap pelayanan agama kepada warga masyarakat tanpa pandang bulu dalam bentuknya yang paling konkret seperti penanggulangan kemiskinan, penegakan kedaulatan hukum dan kebebasan menyatakan pendapat. Apabila sebuah agama telah memasuki tatanan baru itu, barulah ia berfungsi melakukan pembebasan (tahrir, liberation).

Menguji manfaat kehadiran agama-agama memang dengan menilai tindakan dan aksinya bagi pembebasan. Jika agama-agama hanya bicara melulu tentang “sorga” yang di sana itu, maka mungkin perlu dipertanyakan: apakah masih perlu beragama?

 

Penulis, Dosen Fakultas Teologi UKI Tomohon, pegiat di Mawale Cultural Center

Editor: Trisno S. Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home