Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Sabtu, 08 Agustus 2015

Akulah Roti Kehidupan

Guru dari Nazaret mengibaratkan diri-Nya dengan sesuatu yang sederhana dan murah.
Akulah roti kehidupan (foto: inspirasi-renunganpagi.blogspot.com)

”Akulah roti kehidupan” (Yoh. 6:35, TB-2). Demikanlah pernyataan Yesus di hadapan orang banyak itu. Tak hanya sekali. Penulis Injil Yohanes mencatat: tiga kali Yesus menegaskan jatidirinya di muka umum.

Menarik disimak, Yesus mengidentifikasikan diri-Nya bukan dengan sesuatu yang mahal. Guru dari Nazaret itu malah mengibaratkan diri-Nya dengan sesuatu yang sederhana dan murah. Dalam keadaan normal. semahal-mahalnya roti, tentu tidak pernah lebih mahal dari harga emas bukan?

 

Undangan

Namun, murah tidak berarti murahan. Menjadi murah karena tak pernah terbayangkan jika harga roti, sebagai kebutuhan pokok, menjadi lebih mahal dari emas. Menjadi murah karena roti merupakan kebutuhan pokok. Tanpa roti, manusia tak dapat hidup normal. Tanpa karbohidrat, manusia takkan memiliki energi untuk menjalani tugasnya sebagai manusia.

Ungkapan roti hidup hendak memperlihatkan bahwa Yesus adalah sumber kehidupan. Yesus adalah pokok kehidupan seperti halnya roti yang merupakan kebutuhan primer manusia. Dan ungkapan ”Akulah roti kehidupan” dilanjutkan dengan undangan! Siapa yang diundang? Setiap orang diundang untuk datang kepada Yesus, Sang Guru dari Nazaret. Setiap orang yang mendengar perkataan itu ditantang untuk menjalani hidup sebagai murid Kristus.

 

Perjamuan Kudus

Awal dari kemuridan ialah bersekutu dengan Sang Guru. Dengan tegas Yesus berkata, ”Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”

Memakan Tubuh dan Darah Kristus merupakan persekutuan sejati. Kata orang, seorang manusia dapat dinilai dari apa yang dimakannya. Jika saudara dan saya mengaku telah memakan tubuh dan darah Kristus, maka tingkah laku kita seharusnya mencerminkan semuanya itu. Artinya, kita hidup sebagaimana Kristus hidup.

Perjamuan Kudus bukan sekadar makan dan minum. Tetapi, persekutuan sejati antara Allah dan manusia. Ketika kita memakan roti dan meminum anggur yang kita percaya melambangkan Tubuh dan Darah Yesus Kristus, maka Dia menjadi bagian dalam (intrinsik) hidup kita.

Oleh karena itu, panggilan kita juga adalah menyatakan Yesus yang berada dalam diri kita. Itu merupakan keniscayaan. Paulus berkata bahwa hidup kita adalah kitab terbuka, pertanyaannya: ”Apakah orang lain melihat Yesus dalam diri kita?” Jika tidak, tentu malah aneh!

Tak heran dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus juga menasihati: ”Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih” (Ef. 5:1). Tentu itu tidak hanya omongan di bibir, tetapi sungguh maujud dalam tindakan. Itu hanya mungkin terjadi kala manusia hidup dalam persekutuan dengan Allah.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home