Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 19:19 WIB | Kamis, 11 Juni 2015

Alissa Wahid: Kebinekaan Sekadar Diceramahkan, Tak Dilakukan

Alissa Wahid hadir sebagai keynote speaker dalam acara DINAMO (Digital National Movement) pada Kamis (12/2) di Purna Budaya, UGM, Yogyakarta (Foto: Tunggul Tauladan)

DEPOK, SATUHARAPAN.COM – “Indonesia ada karena keberagaman, kalau tidak ada keberagaman, tidak ada Indonesia”.

Begitulah sepenggal pernyataan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dipetik oleh putri keduanya, Alissa Wahid dalam seminar bertajuk “Membangun Damai Menghidupkan Bhinneka Tunggal Ika”.

Indonesia yang berdiri di atas tanah berbagai macam suku, etnis, dan ras nyatanya membuat suasana keberagaman makin berwarna. Ceramah tentang kebinekaan telah dikumandangkan oleh guru sejak siswa  duduk di sekolah dasar. Sayangnya, menurut Alissa, masyarakat sering terjebak pelajaran kebinekaan dengan bangkai ceramah.

“Saya mendapati kadangkala kita terjebak pada frame membangun damai seperti orangtua sibuk ceramah pada anaknya sehingga perilaku anaknya tidak terkendali. Sama dengan berceramah, kita hanya berkata tanpa orang itu mengerti,” ujar Alissa di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (11/6).

Dengan metode ceramah ini, masyarakat lantas semakin tak sadar konflik yang timbul karena keberagaman semakin mengakar. Dalam beberapa waktu terakhir, Alissa berpendapat dunia tengah dihadapkan dengan kondisi kerukunan umat beragama yang cukup memprihatinkan. Ia mempertanyakan ada kepentingan apa yang ada di balik kondisi tersebut.

“Sebuah masyarakat sampai bisa tejadi genosida ada dua jurusan. Jurusan supporting human life atau tidak. Atau justru jurusan yang menghancurkan. Ada  karakteristik yang dipotret yaitu bagaimana power digunakan dalam resolusi konflik,” ujar Alissa.

Kekuatan kekuasaan yang dipakai untuk menyelesaikan masalah keberagaman untuk menundukkan ‘lawan’ justru menandakan bahwa bangsa tersebut bergerak menuju kehancuran.

“Masyarakat yang bergerak menuju kehancuran justru kelompok-kelompok yang bertikai saling menghancurkan. Lalu apakah kekerasan itu sudah muncul menjadi perilaku dan benar-benar merusak?” ujar Alissa.

Kondisi semacam ini tak bisa diselesaikan dengan pendidikan kebhinnekaan yang hanya sekadar verbal. Kendali yang cukup merespons bila terjadi konflik yang meningkat dengan cepat adalah masyarakat memiliki kesadaran menghargai kehidupan sesama manusia.

Membangun damai tantangannya memang seringkali reaktif, tidak sistematis, dan defensif. Namun, bila tantangan tersebut berani dilalui, bangsa tak lagi menari di atas genderang yang ditabuh orang lain dan tak lagi sibuk mematikan api yang berkobar di pinggir-pinggir. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home