Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 07:29 WIB | Senin, 05 Mei 2014

Analisis: Pemilu dan UN Jadi Indikasi Moral Bangsa

Kepala Sekolah SMKN 1 Yogyakarta, Rustamaji memantau Ujian Nasional (UN) dengan menggunakan CCTV di ruangannya di SMKN 1 Yogyakarta, Senin (14/4). Penggunakan CCTV tersebut selain untuk memantau jalannya UN juga berfungsi sebagai alat keamanan sekolah. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Perlakuan sangat istimewa dan ketat terhadap perhelatan Pemilu dan Ujian Nasional menjadi contoh moralitas bangsa Indonesia sangat buruk. Peran penegakkan hukum menjadi kunci penting.

Pemilu untuk calon anggota DPR (Pileg) dan Ujian Nasional (UN) untuk SMA/SMK telah terlaksana beberapa waktu yang lalu. Selanjutnya, masyarakat Indonesia sedang menanti Pemilu Presiden, yaitu pada bulan Juli 2014, dan mulai Senin, 5 Mei 2014, diadakan Ujian Nasional untuk tingkat SMP. Dua perhelatan akbar (Pemilu dan UN) yang telah dan mulai berlangsung itu menyita perhatian banyak kalangan masyarakat dan tentu negara. Ini karena keduanya adalah kegiatan yang penting dan sangat menentukan bagi kehidupan bangsa dan negara. Pemilu dengan hasil-hasilnya dalam ranah politik akan menentukan situasi sosial-politik, sedangkan Ujian Nasional dalam ranah pendidikan menentukan  pembentukan sumber daya manusia yang berperan bagi sukses-tidaknya dan baik-buruknya kehidupan Indonesia.   

Sebagai sebuah perhelatan dengan dinamika, problematika dan hasil-hasilnya, Pemilu dan UN dapat dijadikan sarana untuk mengukur moralitas bangsa ini. Pemilu yang berarti demokrasi, dan Ujian Nasional yang berarti pendidikan,  telah menjadi ukuran bagi kemajuan dan tingginya peradaban masyarakat berperadaban tinggi. Yang dijadikan ukuran adalah elemen-elemen yang tampak di sekitar pelaksanaan kedua kegiatan itu. Pertama, persiapan yang diberi perlakuan yang istimewa dan ketat. Pengiriman dan penyimpanan kertas suara Pemilu dan kertas soal UN dijaga ketat, bahkan dengan mempekerjakan tenaga kepolisian yang bersenjata lengkap. Bahkan ada kertas suara dan soal-soal UN yang harus disimpan di kantor polisi. Di banyak sekolah, ruang-ruang ujian dipasang peralatan pengawas atau CCTV. Kedua, dalam pelaksanaan baik Pemilu atau UN, ada panitia pelaksana dan panitia pengawas pemilu serta penjagaan oleh polisi. Dalam UN, ada pelaksana-sekolah dan pengawas yang didatangkan dari tempat-instansi lain. Ketiga, banyaknya pelanggaran dan kejahatan saat pelaksanaan.

Pertanyaan yang perlu disampaikan di sini adalah: mengapa Pemilu dan UN sampai diperlakukan sedemikian fenomenal dan harus dijaga secara sangat ketat? Bukankah Pemilu yang menunjukkan demokrasi dan UN dalam bidang pendidikan adalah perhelatan yang terhormat yang menandakan kemajuan dan peradaban tinggi dari suatu masyarakat? Mengapa pula masih terjadi pelanggaran dan kejahatan yang sangat massif?

Perlakuan yang istimewa menunjukkan bahwa perhelatan itu sangat penting. Lalu, pengaturan yang tegas dan pengawasan serta penjagaan ketat dalam persiapan dan pelaksanaannya tentu dimaksudkan untuk kelancaran dan “proteksi” dari tindak kejahatan. Tentu tindakan protektif itu didasarkan pada berbagai persoalan, kecurangan atau kejahatan dalam pelaksanaan Pemilu dan UN sebelum-sebelumnya.

Perlakuan khusus terhadap pelaksanaan Pemilu dan UN dan masalah-masalah bahkan kejahatan yang terjadi dalam pelaksanaannya dapat menjadi indikasi buruknya moralitas masyarakat. Apalagi jika ditambah dengan berbagai gejala dan tindakan kriminal di bidang lain, seperti penipuan, pencurian-perampokan, pembunuhan, kerusuhan massal dan korupsi yang sangat sering dan banyak terjadi. Jika tidak buruk sehingga tidak ada dugaan tentang akan terjadinya masalah atau kecurangan atau kejahatan yang massif, tentu tidak akan ada pengaturan dan penjagaan yang sangat ketat. Jika moralitas masyarakat secara umum dijamin baik maka tentu tidak diperlukan Panwaslu, atau aparat kepolisian untuk menjaga.

Bukti buruknya moralitas dan lihainya para pelaku kejahatan tampak pada pelaksanaan Pemilu dan UN. Walaupun sudah dipersiapkan dan dengan pengawasan atau penjagaan yang ketat, pelanggaran, kecurangan dan kejahatan tetap saja terjadi.  Menurut data Bawaslu, dalam pelaksanaan Pemilu, 9 April 2014, terjadi 3.238 kasus pelanggaran (Berita TV One). Data ini belum termasuk laporan-laporan kejahatan Pemilu yang disampaikan kemudian hari dan sampai sebulan setelah Pemilu tersebut. Pelanggaran yang terjadi mulai dari kesalahan data pemilih, rakyat yang memiliki hak memilih tidak terdaftar, pemilih ganda, sampai politik uang atau money politik, pencurian dan penculikan kotak suara, jual-beli suara dan penggelembungan suara.  Menurut data Dinas Pendidikan, baru dua hari pelaksanaan UN tingkat SMA/SMK itu, sudah ada 158 laporan pelanggaran (Berita TV One). Setelah itu, menurut berbagai sumber-berita, jumlah pelanggaran dalam UN itu di seluruh Indonesia jauh melampaui angka itu.

Yang sangat membuat miris adalah, para pelaku kejahatan itu berasal dari semua komponen yang terlibat. Dalam Pemilu, yang terlibat pelanggaran dan kejahatan adalah mulai dari para caleg, calo suara, penyelenggara negara dan bahkan panitia pelaksana dan panitia pengawasnya. Dalam UN, yang terlibat mulai dari pihak-pegawai percetakan, petugas pengiriman, calo dan joki-kunci jawaban, siswa dan bahkan guru dan pengawasnya.  

Mengapa pelanggaran atau kejahatan tinggi yang berarti moralitas rendah itu terjadi?

Keberhasilan diri sendiri atau kelompok atau untuk mendapatkan yang diinginkan adalah alasan utama orang melakukan pelanggaran atau kejahatan.  Keinginan itu hendak didapatkan dengan berbagai cara, baik yang konstitusional maupun yang inkonstitusional atau melanggar hukum. Jadi, pragmatisme materialis, atau demi kesuksesan mendapat jabatan dan uang atau lulus ujian, orang lalu menghalalkan segala cara termasuk yang jahat.

Kejahatan massif memungkinkan dan terjadi di dalam masyarakat karena pelakunya massif atau berjamaah. Kecenderungan melakukan pelanggaran atau kejahatan sudah menjadi gejala umum, sehingga banyak orang yang lalu menjadi akomodatif dan permisif terhadapnya. Lingkungan berperan utama di dalam memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan. Apalagi, kejahatan yang terjadi biasanya tidak dilakukan sendiri untuk kepentingan sendiri, tetapi dilakukan bersama seseorang atau sekelompok orang lain untuk kepentingan dan keuntungan bersama. Maka kejahatan itu menjadi budaya, berada dalam system atau sistematis dan massal.

Cara mengatasinya adalah meningkatkan peran hukum untuk penghukuman, menggerakkan dan membentuk budaya malu dan rasa bersalah dan menggugah orang untuk hidup jujur, adil, menikmati dan mensyukuri apa saja yang dimiliki atau didapatkan secara sah sekalipun itu dirasa kurang. Di sini diperlukan peran negara-kekuasaan untuk penegakkan hukum, agama dengan nilai etis-moral-spiritualnya, budaya-adat istiadat masyarakat dengan kearifannya, dan penggunaan akal sehat serta hati nurani.

Semoga moralitas bangsa ini makin baik, dan Pemilu dan Ujian Nasional dan kehidupan masyarakat Indonesia secara umum tidak lagi diwarnai oleh persoalan dan kejahatan. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home