Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 08:22 WIB | Rabu, 07 Mei 2014

Analisis: Ritualisme Masih Jadi Panglima Hidup Beragama

Sejumlah umat Katolik memanjatkan doa di depan patung perjalanan penyaliban Yesus Kristus di Bukit Golgota, kawasan Gereja Puh Sarang, Kediri, Jawa Timur, Jumat (18/4). Ratusan umat Katolik dari berbagai daerah di Jawa Timur merayakan Paskah di situs religi Bukit Puhsarang Kediri. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Indonesia, negara yang sangat agamis secara ritual-formal, tetapi memiliki masyarakat dengan tingkat korupsi  dan kerusuhan sosial yang sangat tinggi. Sebab, segi etika-moral belum menjadi karakter dan sikap hidup.

Perayaan atau ritual Jumat Agung dan Paskah dalam komunitas Kristen di tahun 2014 telah berakhir.  Masih jelas dalam ingatan kemeriahan perayaan keagamaan yang sangat istimewa itu, terutama di daerah-daerah yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, seperti di Nusa Tenggara Timur , Sulawesi Utara Maluku dan Papua. Dari mulai ibadah di gereja atau di tempat-tempat lain seperti di taman, kebun, pantai  dan pusat perbelanjaan atau mall, pawai di jalan, lomba menyanyi, membaca Alkitab,  sampai lomba pakaian gereja diadakan. Perayaan itu diselenggarakan selama lebih satu minggu, dimulai beberapa hari sebelum Jumat Agung dan berakhir beberapa hari setelah Paskah.

Di dalam  tradisi Kristen ada juga  ritual lain, misalnya pada hari Natal dan Tahun Baru, serta  yang rutin di hari Minggu. Agama lain juga demikian, seperti Puasa Ramadhan dan Idul Fitri dalam Islam, Waisak dalam Buddha, Nyepi di Hindu, Imlek dalam Kong Hu Cu dan Taoisme. Semua diberi perhatian utama, bahkan sering harus mengalahkan atau mengorbankan kepentingan umum,  sosial dan kemanusiaan, serupa dengan pelaksanaan ajaran agama dan adat istiadat agama Yahudi di zaman Yesus.

Nilai hari-hari khusus agama, seperti Jumat Agung dan Paskah, Natal, Lebaran, dan Nyepi, begitu berharga sehingga kehidupan umat sangat tertuju pada perayaannya. Penggunaan tenaga, waktu dan dana yang besar tidak menjadi persoalan. Dalam perayaan Jumat Agung misalnya, orang bahkan bersedia berkorban menderita;  mau dicambuk, dipukuli, bahkan dipaku tangan dan kakinya di kayu salib sebagai tanda solidaritas dengan Yesus. Di sisi lain, karena begitu antusias, risiko atau bahaya yang mengancam nyawa tidak begitu diperhitungkan, seperti kecelakaan yang merenggut nyawa belasan orang terjadi dalam arak-arakan perahu di laut menjelang Jumat Agung di Larantuka, NTT; atau pada perayaan agama Hindu di sungai Gangga-India yang selalu memakan banyak korban jiwa.  

Ritualisme adalah paham yang menganggap beribadah seperti berdoa, sembahyang berjemaah atau kebaktian minggu, menyanyi di dalam kebaktian dan ikut Perjamuan Kudus, berpuasa, serta beribadah dalam perayaan-perayaan hari istimewa adalah hal paling penting dalam agama. Ukuran hidup baik atau saleh sesuai kehendak Tuhan adalah beribadah atau melakukan ritual formal.

Setelah kemeriahan dan kehebohan ritual agama, seperti Jumat Agung dan Paskah, lalu apa manfaatnya dalam hidup umat selanjutnya?  

Manfaat langsung dari perayaan itu tentu ada, yaitu orang mengalami kepuasan batin, rohani atau spiritual. Perayaan agama dalam bentuk pesta yang meriah yang diwarnai oleh berbagai pertunjukan yang menghibur atau entertainment biasanya memberi kepuasan batin-emosi; ada rasa senang, gembira dan puas.  Juga kelegaan batin dialami karena adanya pemahaman bahwa mereka telah melaksanakan kewajiban agama. Keikutsertaan di dalam perayaan agama atau ibadah  menunjukkan ketaatan atau kepatuhannya pada Tuhan. Dengan itu mereka telah memuliakan dan menyenangkan hati Tuhan, dan lalu diampuni dosanya, disucikan dan diberkati atau diberi rejeki. 

Ada atau tidak manfaat dalam hidup sehari-hari bagi sikap pribadi (personal) dan hubungan dengan orang lain (sosial)  atau pengaruh pada etika tidak begitu penting.  Itulah yang mengakibatkan adanya orang atau masyarakat yang tampak begitu giat beribadah begitu saleh beragama tetapi kehidupan moral-etisnya tetap buruk. Gejala ini terjadi di dalam masyarakat kita. Indonesia sangat menjunjung tinggi agama, giat sekali dalam beribadah, di mana-mana ditemukan tempat ibadah, orang bicara atau pidato dengan bahasa agama, tetapi sangat buruk dalam kehidupan personal dan sosial. Dari berbagai lapisan masyarakat dan di berbagai tempat orang dengan mudah melakukan tindakan buruk, tidak etis dan bahkan kriminal. Taat beribadah tetapi  begitu mudah melanggar aturan lalu lintas, mudah marah dan rusuh atau amuk massa, tidak jujur, curang, menipu, korupsi, memfitnah, menjatuhkan orang lain, melakukan kekerasan dan pembunuhan, bahkan dengan nama agama. Indonesia, negara yang sangat agamis secara ritual-formal tetapi memiliki masyarakat dengan tingkat kejahatan, khususnya korupsi  dan kerusuhan sosial yang sangat tinggi.

Ritual atau ibadah tampak tidak berpengaruh penting dalam pembentukan kepribadian dan perilaku etis-moral seseorang.  Padahal yang diutamakan Tuhan adalah perbuatan baik dan benar atau beretika. Ia berfirman: 

Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Am. 5: 21-24)   

Demikian juga: “Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku.” (Yes. 29:13). Yesus mengkritik orang-orang dengan mengatakan: “Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan.” (Luk. 6:46). Jadi jelas bahwa kehendak Tuhan lain dengan pemikiran manusia yang lebih mengutamakan ritual. 

Agama mengandung tiga aspek utama. Pertama, aspek doktrinal atau ajaran, seperti tentang Allah dan keselamatan. Kedua,  ritual atau perayaan-ibadah. Ketiga, etis-moral yang menyangkut perbuatan baik.  Aspek doktrinal menjadi dasar dari atau berkaitan erat dengan aspek ritual dan etis.  

Dalam kehidupan beragama , umumnya yang diutamakan adalah aspek doktrinal dan ritual. Orang dapat mati-matian atau bunuh-bunuhan demi sebuah doktrin; orang dapat berkorban tenaga, waktu dan uang demi melaksanakan ibadah tetapi, begitu sulit untuk berbuat baik. Segi etika-moral belum menjadi karakter dan sikap hidup. Orang umumnya masih mengutamakan dan terbuai dengan ritual yang mengandung manfaat  langsung, yaitu kesenangan dan kepuasan batin-rohani. Inilah hedonisme religious-ritual. Sedangkan sebaliknya, hidup baik, beretika, tidak jarang justru mengakibatkan ketidakpuasan, karena orang harus berkorban perasaan dengan bersabar, menahan diri, merendahkan diri, mengalah atau harus menjauhi kesenangan duniawi. Jadi hidup beragama dengan etika berat, sementara ritual tidak.  Dan, orang tentu memilih jalan yang mudah tapi bermanfaat langsung; ringan tapi memuaskan sesaat, dan tidak mau susah.

Yesus mengajarkan: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan , dan sedikit orang yang mendapatinya.” (Mat. 7:13-14).  Ajaran Alkitab-Yakobus, mengatakan bahwa iman (doktrin) tanpa perbuatan (etika) adalah kosong, mati atau sia-sia. Jika begitu, seharusnya orang menyadari bahwa ritual atau ibadah tidak akan berarti jika tidak disertai etika, hidup baik dan benar berdasarkan cinta-kasih kepada Allah, sesama manusia dan seluruh ciptaan. 

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home