Asia Hadapi Masa Depan Mengkhawatirkan Akibat Perubahan Iklim
MANILA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah laporan yang dikeluarkan Bank Pembangunan Asia (ADB) mengatakan, Asia akan mengalami panas ekstrem, tinggi permukaan laut yang meningkat, kerugian akibat cuaca buruk yang terus membengkak, dan ketidakamanan pangan yang meningkat selama beberapa puluh tahun ke depan.
Menurut ADB dilansir situs voaindonesia.com, fakta memprihatinkan itu akan terjadi karena perubahan iklim telah meningkatkan suhu udara, dan mengubah pola cuaca di berbagai wilayah di dunia.
Laporan yang dirilis Jumat di kantor pusat ADB di Manila itu menyampaikan gambaran buruk yang dialami Asia yang dihuni sekitar 4 miliar orang. Laporan tersebut mendasarkan prediksinya pada riset ilmiah terbaru, dengan atau tanpa usaha yang lebih agresif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global.
Laporan tersebut, meramalkan suhu musim panas di Asia bisa meningkat sekitar 6 derajat Celsius menjelang tahun 2100 jika tren pemanasan yang terjadi saat ini tidak diperlambat. India mengalami serangan gelombang panas pada tahun 2015 dan 2016 sewaktu suhu udara mencapai sekitar 50 derajat Celsius.
Kiamat Iklim Kian Dekat
Sementara itu, Ilmuwan memperingatkan umat manusia hanya punya waktu tiga tahun untuk menyelamatkan bumi dari dampak terburuk perubahan iklim. Celakanya bahkan jika manusia berhasil mencapai target dua derajat seperti yang tertera pada perjanjian iklim Paris, separuh populasi bumi akan tetap menglami gelombang panas mematikan lebih sering pada 2100. Indonesia dan Amerika Selatan termasuk kawasan yang paling parah. Ilmuwan meyakini tren tersebut tidak bisa dicegah lagi.
Lewat jurnal ilmiah Nature, ilmuwan mewanti-wanti betapa manusia kehabisan waktu buat mencegah laju perubahan iklim menjadi tidak terkendali. Kelompok ilmuwan yang juga beranggotakan bekas Direktur Iklim PBB, Christiana Figueres, itu mengatakan, jika kadar emisi bisa ditekan secara permanen hingga 2020, maka ambang batas temperatur yang bisa berdampak pada perubahan iklim tak terkendali tidak akan dilanggar. Untuk itu mereka mengusulkan rencana enam butir untuk menanggulang perubahan iklim kepada dunia internasional, berikut ini yang dikutip dari dw.com,
- Energi Terbarukan, saat ini energi terbarukan memenuhi sedikitnya 30 persen kebutuhan energi dunia. Angka tersebut banyak meningkat dari kisaran 23,7 persen pada 2015. Meski pertumbuhan produksi energi ramah lingkungan meningkat, pemerintah dan industri tidak boleh lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara pasca 2020 dan semua pembangkit yang sudah beroperasi harus dipensiunkan.
- Infrastruktur nol emisi, kota dan negara di dunia sudah berkomitmen untuk menghilangkan jejak karbon sepenuhnya pada sektor konstruksi dan infrastruktur pada 2050. Untuk itu Perjanjian Iklim Paris menyediakan program pendanaan senilai 300 miliar Dollar AS (Rp 39,8 triliun)setiap tahun. Kota-kota wajib mengganti struktur konstruksi pada sedikitnya 3 persen bangunan/tahun di wilayahnya menjadi lebih ramah lingkungan atau nol emisi.
- Transportasi Ramah Energi, tahun lalu sebanyak 15 persen dari total penjualan kendaraan bermotor di seluruh dunia berbahan bakar elektrik. Jumlahnya meningkat 1 persen dari tahun sebelumnya. Namun pemerintah dan industri tetap diminta untuk menggandakan efisiensi bahan bakar untuk transportasi, yakni sebesar 20 persen untuk kendaraan berat dan pengurangan 20 persen emisi gas rumah kaca per kilometer untuk pesawat terbang.
- Penghijauan lahan, kebijakan penggunaan lahan harus diarahkan untuk mengurangi kerusakan hutan dan bergeser ke arah penghijauan kembali. Saat ini emisi gas rumah kaca dari pembalakan hutan dan pembukaan lahan mencapai 12 persen dari emisi global. Jika emisi tersebut bisa dikurangi menjadi nol, maka hutan yang ada bisa digunakan untuk mempercepat pengurangan emisi CO2 global.
- Efisiensi industri sarat emisi, industri berat seperti industri baja, semen, kimia, minyak dan gas, saat ini menghasilkan seperlima emisi CO2 di dunia, termasuk untuk kebutuhan energi. Baik pemerintah maupun swasta harus berkomitmen memangkas emisi CO2 industri berat menjadi separuhnya pada 2050. Hal ini bisa dicapai dengan pertukaran teknologi dan efisiensi energi.
- Pendanaan Mitigasi Iklim, sektor keuangan berkomitmen memobilisasi dana senilai 1 triliun dollar AS (Rp 13.338 triliun) per tahun untuk program iklim, pemerintah dan lembaga keuangan seperti bank dunia harus mengeluarkan "obligasi hijau" lebih banyak untuk membiayai program mitigasi perubahan iklim.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
RI Evakuasi 40 WNI dari Lebanon via Darat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mengevakuasi 40 Warga ...