Atribut Daerah Warnai Pesparawi XIII
SATUHARAPAN.COM – Berbagai atribut kedaerahan mewarnai Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Mahasiswa Tingkat Nasional XIII pada Jumat (3/10) kemarin. Pasalnya, pada hari kelima Pesparawi ini, kategori yang dilombakan ialah lagu-lagu folklor atau lagu-lagu daerah. Peserta Pesparawi yang berasal dari seluruh kota di Indonesia pun serentak menggunakan pakaian dan atribut daerah.
Dalam kategori ini, tiap-tiap kelompok membawakan dua lagu beraliran folklor. Mayoritas membawakan lagu dari daerah masing-masing, seperti yang dibawakan kelompok Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Universitas Cenderawasih Papua. Dengan menggunakan atribut lengkap khas Papua, mereka menyanyikan lagu berjudul Woi lengkap dengan tarian dan iringan musik daerah. Trias dan Tasya, anggota PSM Universitas Cenderawasih menjelaskan bahwa lagu dan tarian yang mereka bawakan itu bercerita tentang karunia Tuhan yang digambarkan dalam nuansa pagi.
“Lagu kedua, berjudul Woi ini intinya kita ingin kasih tahu bahwa Tuhan ada di sebelah timur,” kata Tasya.
Mereka mengaku tidak menemukan kesulitan dalam membawakan lagu daerah.
“Seperti menyanyi lagu sehari-hari,” ujar Trias.
Sementara itu, Siti Bahria dan Reni Handayani, peserta asal Universitas Negeri Makassar, saat ditemui satuharapan.com seusai tampil mengatakan bahwa kelompoknya menggabungkan aransemen empat etnis dalam satu lagu.
“Sipakamase, lagu dari Makassar, diaransemen dari empat etnis yang berbeda, ada Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Penampilan kami juga beda-beda, kami satukan semua dari empat etnis, kami jadikan satu lagu yang judulnya Sipakamase,” kata Reni.
Siti dan Reni mengaku senang membawakan lagu folklor dalam lomba Pesparawi ini karena mereka dapat mengekspresikan lagu dengan gerak tari yang bebas.
Folklor Satukan Perbedaan
Diadakannya kategori folklor dalam Pesparawi ini secara tidak langsung telah menyatukan beragam budaya yang berbeda dalam satu kesempatan. Maria, peserta dari Universitas Kristen Immanuel (Ukrim) Yogyakarta memandang kategori folklor ini sebagai alat untuk menyatukan beragam etnis yang berbeda. Sementara itu, Reni mengatakan bahwa kategori ini telah mencerminkan hal yang baik serta memberi contoh bagi masyarakat penganut etnosentrisme. Di sinilah kita bisa mencerminkan sesuatu yang baik, kita pun juga bisa menyatukan etnis, budaya, agama yang berbeda-beda. Jadi, cinta damai,” katanya.
“Walaupun ada yang berbeda di antara kami, dibedakan oleh agama, tetapi rasanya aman, nyaman, damai,” Reni menambahkan.
Folklor di Indonesia yang berkembang melalui paduan suara dinilai sebagai suatu alat untuk melestarikan budaya di tengah kecenderungan anak muda yang lebih mencintai budaya-budaya luar.
“Folklor sebenarnya bisa menjadi alat untuk mempromosikan budaya Indonesia di luar negeri,” kata Maria.
Editor : Sotyati
Pancasila Jadi Penengah Konflik Intoleransi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Leonard Chrysostomos Epafras ...