Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 23:57 WIB | Senin, 03 April 2017

Banyuwangi JazzEthnic, Pertemuan Osing-Jazz Menjaga Alam dan Tradisi

Banyuwangi JazzEthnic, Pertemuan Osing-Jazz Menjaga Alam dan Tradisi
Peluncuran Banyuwangi Jazzethnic di Kampong Pusan Desa Karangrejo, Banyuwangi, Sabtu (1/4). (Foto-foto: Kampus Wetan)
Banyuwangi JazzEthnic, Pertemuan Osing-Jazz Menjaga Alam dan Tradisi
Dengan memanfaatkan botol air mineral bekas yang dirangkai menjadi rakit, masyarakat menyusuri kawasan mangrove Pulau Santen Karangrejo, Banyuwangi.
Banyuwangi JazzEthnic, Pertemuan Osing-Jazz Menjaga Alam dan Tradisi
Masyarakat Kampong Pusan mendaur ulang-pakai sampah dari perairan Pulau Santen untuk dijadikan ecobrick ataupun barang lainnya.

BANYUWANGI, SATUHARAPAN.COM - Acara peluncuran Banyuwangi JazzEthnic (BJE) Sabtu, 1 April 2017 di Pulau Santen Desa Karangrejo, Banyuwangi menjadi pesta seni tradisi-kontemporer masyarakat dalam memperkenalkan kembali khasanah seni pertunjukan masyarakat Osing Banyuwangi.

Tarian Jejer Gandrung dan tarian Kuntulan oleh pelajar SD-SMP warga Pulau Santen dengan iringan musik gamelan oleh Sanggar Seni Kuwung Wetan desa Rejoagung mengawali acara peluncuran BJE dilanjutkan dengan penampilan grup musik asal Malang The Maspoh memainkan 3 lagu karya mereka yang lebih banyak bercerita tentang alam Kampung Temenggungan: "Kawitan Sejati", "Sunrise of Java", dan "Pusan Melambai". The Maspoh berkolaborasi musik dengan Ali Gardy, seniman dari Situbondo yang memainkan saxophone dan flute, dan pemain kendang Banyuwangi JazzEthnic Yossi.

Saat peluncuran BJE, Banyuwangi JazzEthnic memainkan delapan lagu berbahasa Osing dari tahun 1960-an hingga 1980-an. Berkolaborasi dengan musisi Takeshi Lua asal Jepang yang memainkan alat musik saltery dan Ali Gardy pada flute membawakan lagu Impen-impenan. Lagu yang dipopulerkan oleh pesinden Supinah diciptakan oleh Andif AP pada tahun 1986.

Di akhir duet instrumen saltery dan flute, langsung disambung dengan gesekan biola Dwi Agus Cahyono dengan warna Banyuwangi yang kental untuk masuk pada lagu Impen-impenan dalam nuansa jazz.

Lagu Impen-impenan pernah diangkat oleh grup musik Krakatau dalam album Magical Match yang dirilis pada tahun 2001. Lagu yang sama dinyanyikan Trie Utami bareng Banyuwangi Jazz Patrol, Japung Nusantara saat tampil di Malang Jazz Festival bulan Mei tahun lalu.

Dalam keterangan tertulisnya, Dwi Agus Cahyono koordinator Kampong Seni Kuwung Wetan menjelaskan latar belakang munculnya ide Banyuwangi JazzEthnic adalah sebagai upaya konservasi sekaligus pengembangan lagu-lagu klasik tradisional Banyuwangi dengan penataan ulang aransemen musik tradisionalnya yang dipadukan dengan permainan alat musik modern lainnya.

"Harapannya, musik (tradisional) Banyuwangi bisa berkembang tidak sebatas menjadi tempelan/pelengkap. Namun bisa dipadu-padankan dengan musik lain termasuk jazz dengan tanpa kehilangan ciri khas musik Banyuwangi." kata Dwi Agus.

Pada lagu kedua Banyuwangi JazzEthnic memainkan lagu "Luk-luk Lumbu", ciptaan Andang CY sekitar tahun 1970-an. Lagu yang cukup sering dimainkan dalam penggarapan-penggarapan paduan suara sampai level internasional ini dikemas ulang oleh Banyuwangi JazzEthnic dalam aransemen funk dengan tempo dan irama cepat.

Lagu "Ulan Andung-andung" yang pada awal penciptaannya sempat disamarkan penciptanya, menjadi ekspreimen BJE berikutnya. Ulan Andug-andung diciptakan oleh Boesairi Elman atau lebih dikenal dengan nama Indro Wilis pada tahun 1964 saat menjadi tahanan politik.

Lagu yang berkisah tentang harapan dan cinta Boesairi Elman pada tunangannya ini diperkenalkan pertama kalinya dengan nama Andang CY dan BS Noerdian sebagai pencipta lagu, agar tidak dicurigai atau dilarang oleh penguasa saat itu. Ulan Andung-andung sempat dipopulerkan oleh penyanyi Emilia Contesa pada pertengahan tahun 1960-an. Beberapa saat sebelumnya, Bing Slamet lebih dahulu mempopulerkan lagu "Genjer-genjer" yang akhirnya dilarang peredarannya oleh pemerintah Orde Baru. Kedua lagu memiliki melodi maupun ritme yang hampir sama dan menjadi penanda musik Osing yang khas dengan suasan pesisiran.

Pada penampilan lagu keempat BJE memainkan "Mak Ucuk" karya Andang CY. Lagu yang pernah dipopulerkan oleh Gandrung Kusniah, di era modern dinyanyikan kembali oleh Dian Ratih. Permainan perkusi dalam BJE mendominasi lagu "Mak Ucuk" dengan memainkan alat musik katir yang biasa dipakai dalam musik patrol dengan mencoba mengeksplorasi ketukan jazz Amerika Latin (Latin jazz).

"Tulih-tulio" karangan Fatrah Abal dan Andang CY menjadi pilihan lagu berikutnya. Dwi Agus mencoba mengaransemen lagu ini dengan gaya gypsi jazz yang diakhiri dengan permainan angklung, pantus, dan saron, serta memainkan rebana dengan pukulan kuntulan.

New Orleans style mewarnai lagu Cengkir Gading dipenampilan kelima BJE. Lagu yang dipopulerkan dengan warna musik kendang-kempul oleh Yuliatin dan Cahyono diaransemen ulang oleh Banyuwangi JazzEthnic dengan sentuhan klasik jazz New Orleans.

Dalam lagu Gelang Alit ciptaan MF.Hariyanto dan Fatrah Abal dengan genre awalnya yang rancak, Banyuwangi JazzEthnic membawakannya dengan warna groove jazz. Sedianya Gelang Alit menjadi lagu penutup, namun penonton meminta tambahan lagu, dan akhirnya dimainkan lagu Umbul-umbul Blambangan karya Andang Chotib dan BS Noerdian.

Mempertemukan musik Osing-Jazz di bibir pantai Pusan

Pulau Santen tempat penyelenggaraan peluncuran Banyuwangi JazzEthnic merupakan pulau kecil di Desa Karangrejo, Banyuwangi. Dinamakan Pulau Santen, karena di pulau dengan luasan sekitar 8,5 hektar ini banyak ditanam pohon-pohon santen (Kibatalia arborea) oleh warga.

Pulau Santen kini telah bersambung dengan daratan Banyuwangi, melalui jembatan yang dibangun pada era Bupati Samsul Hadi. Selain kehidupan nelayan yang unik, serta pantai dengan pemandangan indah selat Bali dan pulau Bali, di bagian paling selatan pulau ini terdapat padang savana tak berpenghuni seluas hampir 7 hektar, dan pantainya menjadi lokasi mendarat dan tempat bertelur bagi tiga jenis penyu, yaitu penyu hijau, penyu lekang, dan penyu belimbing.

Potensi kekayaan sekaligus permasalahan besar yang ada di pulau Santen adalah sampah kiriman dalam jumlah yang cukup besar mengingat Pulau Santen yang diapit laut dan muara sungai. Karena jumlahnya yang besar, biasanya warga membakar sampah-sampahnya dengan resiko polusi udara dan gangguan kesehatan, atau menguburnya di pasir yang beresiko mencemari tanah maupun mengganggu kehidupan hewan-hewan bawah tanah yang seharusnya membantu kesuburan tanah.

Selain itu terdapat ancaman besar terhadap keberadaan penyu. Di samping pencurian telur penyu, habitat penyu juga terancam akibat pengembangan dan pembangunan fisik di wilayah pesisir. Untuk bertelur, penyu membutuhkan tempat yang gelap. Adanya setitik cahaya korek api saja akan menyebabkan penyu tidak jadi mendarat ke pantai untuk bertelur.

Saat ini masyarakat Pulau Santen dengan didampingi Komunitas Hidora (Hiduplah Indonesia Raya) dan Jaringan Kampung Nusantara mulai berbenah dalam mengelola sampah dengan mendaur ulang dan mendaur pakai. Setahun terakhir ini warga juga sudah berupaya untuk mendata keberadaan penyu dan mencegah terjadinya pencurian telur penyu. Dan saat ini warga juga telah mulai banyak menanam serta merawat tanaman mangrove. Kesadaran-kesadaran warga ini tentunya perlu terus-menerus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.

Dalam berbagai kesempatan, lagu-lagu tradisional Banyuwangi lebih banyak dimainkan dalam genre musik dangdut pesisiran yang atraktif. Memadupadankan musik Osing dengan jazz tanpa kehilangan napasnya masing-masing dalam keindahan panorama pantai? Jika komunitas Jazz Mben Senen Yogyakarta telah mencoba di berbagai pantai di Gunung kidul dalam beberapa tahun terakhir ini, Banyuwangi JazzEthnic memulai satu langkahnya di pantai Pulau Santen.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home