Loading...
INDONESIA
Penulis: Kartika Virgianti 12:29 WIB | Rabu, 30 April 2014

Basuki Sayangkan Tidak Ada DPRD Tingkat II di Jakarta

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menyayangkan Jakarta tidak punya DPRD Tingkat II, karena DPRD Tingkat II merupakan panggung politik yang termudah dan termurah.

Hal itu dia katakan menanggapi gagalnya Yudha Permana dan Michael Victor Sianipar, dua staf pribadinya terpilih di DPRD DKI Jakarta dalam Pemilihan Legislatif (pileg) 2014.

“Tidak apa-apa, kalau untuk pemula tidak perlu pakai uang. Kalau mau ikuti jejak saya kan menjual jujur, bisa dapat di DPRD Tingkat II, tidak perlu pakai uang. Dapat suara 3.000 lebih sudah bisa duduk di DPRD Tingkat II. Ketika semua orang ingin uang, kamu harus buktikan punya karakter yang teruji,” papar Basuki di Balai Kota, Rabu (30/4).

Untuk duduk di DPRD DKI, seorang caleg harus mengumpulkan paling tidak 35.000 suara, sedangkan jika DPRD Tingkat II atau setingkat kabupaten, caleg hanya perlu memiliki 3.000 suara agar dapat menduduki kursi dewan.

Basuki mengaku prihatin, karena politik uang masih mewarnai pemilu di tahun ini, orang-orang masih mau memilih caleg yang memberikan uang.

“Saya sudah melaporkan kecurangan pilkada (pemilihan kepala daerah) dari tahun 2007, sampai waktu dulu duduk di DPR RI, bahwa ada permainan sistematik. Tapi tidak ada yang mau mendengar,” sesalnya.

“Saya curiga masing-masing ingin main, makanya dibiarkan mengambang. Kalau sudah begitu tidak bisa salahkan siapa-siapa, kamu aja yang bodoh, enggak bisa curangi teman,” cetus Basuki.

Basuki juga sempat menceritakan pengalamannya dalam pilkada lalu, di satu kecamatan suara untuknya mencapai 8.000 suara, tapi begitu direkapitulasi satu kabupaten, suaranya menjadi 6.000.

Pemilu di Australia

Saat menjabat sebagai anggota Komisi II DPR RI, Basuki mengaku pernah diundang ke Australia untuk melihat langsung pemilu di sana, yang dia katakan hampir mirip seperti pemilu Indonesia, yaitu dengan datang ke TPS (tempat pemungutan suara) dan bawa undangan.

Bedanya, jika seseorang berada di luar kota dan tidak bawa undangan, hanya menunjukkan KTP tetap bisa memilih. Selain itu dalam proses penghitungan suara, surat suara tidak perlu dikirim melalui pos, melainkan cukup melalui telepon, dan dokumen berupa rekaman suara dan foto dikirimkan melalui email.

“Di situ ada saksi, langsung dilakukan quick count resmi dari PPS (panitia pemungutan suara) di Australia, tidak seperti di sini quick count dilakukan oleh LSI (lembaga survey nonpemerintah). Mengirim hasil penghitungan suara pakai telepon, di sini saja yang terlalu kampungan,” pungkasnya.  

Sisa suara menurut Basuki, dihitung berapa persennya. Kalau ada pemilih yang ditemukan tidak memiliki kewarganegaraan akan dikejar seperti maling, dan dipidanakan. Jadi tidak ada warga yang memilih dobel. Sistem seperti ini bisa mengurangi risiko dilakukannya kecurangan.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home