Loading...
INSPIRASI
Penulis: Katherina Tedja 14:05 WIB | Rabu, 21 Mei 2014

Berani Bicara

Masa emas (foto: ymindrasmoro)

SATUHARAPAN.COM – Jika kita memperhatikan berita akhir-akhir ini, ada kecenderungan yang dapat membuat kita berduka sekaligus bangga. Semenjak peristiwa JIS, sebuah keran seperti dibuka. Mengalirkan dengan deras, terus-menerus, dan tidak mau berhenti, peristiwa demi peristiwa pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Apakah kasus pelecehan anak merupakan mode, ada pelopornya, dan ada pengikutnya yang berbondong-bondong melakukan hal yang sedang digandrungi? Tentu saja bukan begitu. Ternyata, dengan gemetar dan terus mengelus dada, kita menjadi mengerti, itu adalah kebusukan yang telah lama ada—kebobrokan besar yang menggerogoti bangsa! Luka yang mungkin selama ini diingkari karena terlalu nyeri untuk dilihat dengan gamblang, bau busuk yang ingin dilupakan.

Untungnya sekarang tidak lagi (bisa) begitu. Dan itu terjadi karena seorang ibu yang dengan berani dan lantang berbicara. Bagai singa terluka, ia berteriak dan meradang demi  membela anaknya, kekasih hatinya. Dengan begitu ia juga tengah melindungi anak-anak lain.

Masyarakat kita terkejut, menjadi tahu dan sadar, bergegas memeriksa, dan saling mengingatkan. Dan kita dapat melihatnya dengan perih, sebuah gelombang air kotor dialirkan keluar, lagi dan lagi, peristiwa yang sama, derita yang satu, dilaporkan dan diungkapkan banyak anak dan banyak keluarga. Kemudian sebuah gelombang empati, bergulung-gulung menjadi ombak besar, dari media hingga masyarakat luas, dari pemerhati anak hingga badan legislatif, dari penegak hukum hingga pemerintah….

Pelecehan seksual adalah kejahatan yang mencemari tubuh, menjijikkan, sekaligus memalukan. Ketika seorang korban melapor, dia sepertinya sedang melaporkan dirinya sendiri. Belum lagi sistem hukum—yang lambangnya adalah seorang wanita mengenakan penutup mata dan memegang pedang dan timbangan—dikhawatirkan tidak selalu demikian adanya. Orang-orang awam kerap cemas, jika penutup mata dewi keadilan ternyata semi transparan sehingga dia  masih bisa melihat kiri-kanan ketimbang hanya mengandalkan timbangannya saja.

Karena alasan tersebut, korban yang melapor pastilah orang yang berani. Dia adalah seorang yang cerdas dan melihat masalah dengan berimbang. Mengapa takut? Korban bukan pelaku. Dia berhak berbicara dan mendapatkan perlindungan. Dengan berbicara dia telah membuat pelaku kekerasan terungkap, tidak lagi dapat melakukan kejahatan, dan masyarakat menjadi waspada. Pelakulah yang seharusnya malu!

Bahkan ketika Anda bukan korban, melaporkan tindakan tidak terpuji, sungguh-sungguh merupakan tindakan terpuji. Banyak orang dapat diselamatkan oleh laporan Anda, dan kebenaran ditegakkan.

Mari berani bicara!

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home