Loading...
INDONESIA
Penulis: Ignatius Dwiana 18:06 WIB | Jumat, 09 Mei 2014

Boediono: BI Satu-satunya Instrumen Menyelamatkan Century

Wakil Presiden Boediono hadir sebagai saksi di dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Kuningan Jakarta. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Presiden Boediono menyatakan Bank Indonesia adalah satu-satunya instrumen yang tersedia untuk menyelamatkan Bank Century dari kejatuhan di masa krisis pada saat itu.

Pernyataanya tersebut disampaikan saat menjadi saksi di persidangan perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur bidang 4 Bank Indonesia, Budi Mulya.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Kuningan Jakarta pada Jum'at (9/5), Boediono menuturkan berdasarkan pengalamannya selama 30 tahun menyebutkan Bank Century tidak mungkin dibiarkan jatuh pada 2008. Membiarkan bank itu jatuh akan memakan biaya luar biasa dan menimbulkan juga kerugian.

"Menurut saya, ini bank yang gagal. Ini adalah bank yang harus diselamatkan karena mempunyai dampak sistemik." kata Boediono.

Boediono dalam kesaksiannya mengemukakan masalah Bank Century coba diselesaikan melalui beberapa cara. Seperti dengan mencarikan donor, mencari investor, atau pun mencari bank besar yang dapat mendukung Bank Century supaya jangan jatuh ke depannya. Sarana Fasilitas Pendanaan Darurat (FPD) juga belum siap ketika itu.

Akhirnya "Satu-satunya yang ada di tangan Bank Indonesia. Bank Indonesia satu-satunya instrumen yang tersedia," kata Boediono.

Menurut dia, penyelamatan Bank Century dimungkinkan pada 2008 karena Indonesia saat itu tengah memasuki pusaran krisis ekonomi.  Perubahan dari suatu negara akan berdampak ke tempat lain. Apalagi bila terkait masalah keuangan global.

"Kalau kita bicara ekonomi saat ini, ekonomi global, globalisasi, yang terjadi di satu sudut dunia dalam waktu beberapa jam bisa mempengaruhi sudut lain dunia yang ada," kata dia yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia.

"Krisis ekonomi itu saya analogikan mirip dengan bencana alam. Pada tahap-tahap genting itu perlu tindakan tanggap darurat. Itulah tanggap darurat yang kami lakukan pada November sampai Desember. Krisis itu sesuatu yang harus kita akhiri dengan penanganan yang tidak biasa," kata Boediono.

Sementara barang bukti persidangan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum menyebutkan bahwa Boediono ketika menjabat Gubernur Bank Indonesia membantah adanya krisis keuangan.

"Bank Indonesia prihatin dengan perkembangan rumor yang terjadi beberapa hari terakhir ini yang dapat menganggu kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Rumor yang beredar itu antara lain adalah adanya sejumlah bank yang mengalami kesulitan pendanaan dan penarikan dana nasabah secara besar-besaran. Dengan ini kami tegaskan bahwa isu tersebut tidak benar dan tidak memiliki landasan. Demikian ungkap Gubernur Bank Indonesia Boediono," baca Jaksa Penuntut Umum.

Lalu Jaksa Penuntut Umum membacakan lagi: "Bank Indonesia selalu siap memenuhi kebutuhan uang tunai semua bank di semua daerah di tanah air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dapat pula disampaikan bahwa Bank Indonesia telah mengaktifkan fasilitas pendanaan jangka pendek untuk menjamin likuiditas bank dalam keadaan tertentu agar tetap berjalan normal seperti biasanya. Saya tegaskan kembali pada masyarakat bahwa kondisi perbankan Indonesia saat ini mantap dan stabil. Serta tetap mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, ujar Boediono."

Jaksa Penuntut Umum juga mempertanyakan tiga Perpu yang keluar pada 2008. Yaitu Perpu Nomor 2/2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia, Perpu Nomer 3/2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. (LPS), dan Perpu Nomer 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Ketiganya dikeluarkan  untuk mencegah krisis pada tahun itu. Tetapi tidak ada fakta yang mengatakan telah terjadi krisis dalam tiga Perpu itu.

"Bagaimana mengatakan Perpu itu dikeluarkan (ketika) dalam keadaan krisis, padahal di konsideransnya tidak mencantumkan hal itu," tanya Jaksa.

"Saya bukan ahli hukum. Saya ekonom. Jadi kalau dikatakan di sini krisis hebat tentu semua (investasi) akan lari. Kalau ini bukan krisis saya tidak tahu. Kalau 97/98 itu dikatakan krisis saya tidak tahu, saya kira itu chaos. Itu soal semantik," jawab Boediono.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home