Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 17:45 WIB | Senin, 22 Juli 2013

Calon Hakim Agung, Arofah Windiani: Peradilan Malaysia Lebih Baik dari Indonesia

Arofah Windiani, ketua program studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (foto: Prasasta).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dr. Fal. Arofah Windiani, S.H., M.H., salah seorang Calon Hakim Agung (CHA) yang menjalani wawancara terbuka di Komisi Yudisial (KY) mengatakan bahwa sistem peradilan dan kehakiman di Malaysia lebih baik dari Indonesia. Pernyataan ini tertuang dalam wawancara terbuka Calon Hakim Agung yang berlangsung pada Senin (22/7), di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta. Wawancara terbuka yang digelar pada hari ini adalah wawancara terhadap calon hakim agung dari kamar perdata.

“Sistem peradilan di Malaysia lebih baik daripada di Indonesia karena ada fungsi mediasai yang berjalan, hakim hanya melegitimasi keputusan vonis yang ada, karena fungsi jaksa dan pengacara dalam melakukan mediasi nampak jelas,” kata Arofah yang juga kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.  

Arofah yang menjawab pertanyaan dari salah seorang komisioner KY bidang pengawasan Hakim, Jaja Ahmad Jayus, seputar kehadirannya sebagai seorang akademisi menjadi seorang penegak hukum mengatakan bahwa ia tidak gentar anggapan bahwa seorang akademisi tidak dapat bekerja dengan maksimal pada instansi penegak hukum.  

Arofah juga mengatakan bahwa instansi penegak hukum di Indonesia terlalu pragmatis, dan terkadang tidak berdasar kepada nilai-nilai akademis sehingga ia memilih melakukan banyak penelitian di Malaysia terutama berkaitan dengan Mahkamah Agung Malaysia.  

“Keunggulan dari Mahkamah Agung Malaysia yakni mereka senantiasa dipenuhi dengan teknologi terbaru sehingga masyarakat dapat mengikuti tentang perkembangan terbaru dari kasus-kasus hukum yang sampai tingkat kasasi melalui internet dan media sosial lainnya,” kata Arofah.

Arofah mengatakan bahwa masyarakat di Malaysia memilih cara mediasi terlebih dahulu sebelum perkara sengketa keperdataan-nya masuk ke meja hijau.  

“Masyarakat yang berpekara hukum di Malaysia, biasanya didorong untuk melakukan mediasi atau penengahan sebelum sebuah perkara dua pihak yang bersengketa masuk ke meja hijau, kalau di Malaysia hal mediasi perdata diselesaikan dengan adanya bantuan tokoh masyarakat,” kata Arofah.

Pada wawancara terbuka ini setiap CHA diberi waktu 120 menit bertanya jawab dengan ketujuh Komisioner Komisi Yudisial, antara lain diketuai oleh Suparman Marzuki (Ketua KY), Imam Anshori Saleh, Abbas Said (Wakil Ketua KY), Taufiqurrahman Syahuri, Jaja Ahmad Jayus, dan Eman Suparman tentang perihal berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan hukum dan Undang-Undang, terutama Hukum Perdata di Indonesia.  

Saat disinggung tentang keadaan di Indonesia, maka Arofah menyayangkan bahwa di Indonesia pengacara biasanya malah menyarankan agar perkara hukum perdata diteruskan ke pengadilan.  

“Perbedaannya di Indonesia yakni kalau ada pengacara, atau tokoh masyarakat dibalik suatu orang atau pihak yang berperkara bukannya menengahi atau mendamaikan, tetapi malah meneruskan suatu perkara ke pengadilan,” kata Arofah.

Civil Law

Perbedaan lain yang diterangkan Arofah terkait dengan hukum secara mendasar, yakni yang berkenaan dengan bentuk hukumnya. Civil Law (hukum konstitusi) dan Common Law (hukum masyarakat/adat), Arofah mengatakan bahwa hukum di Malaysia tidak selalu terkait dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Perdata secara murni, tetapi menyesuaikan dengan struktur dan perkembangan sosial masyarakat.

Civil law di Malaysia terkait dengan sejarah Malaysia, common law merupakan yurisprudensi yang dapat berubah-ubah. Common law di Malaysia lebih dominan dalam sistem peradilan Malaysia. Sehingga hakim di Malaysia dalam membuat amar putusan  tidak tergantung kepada buku undang-undang dan pengaruh jaksa dan pengacara tetapi juga melihat keadaan yang ada di masyarakat,” kata Arofah.

Durasi putusan hukum juga menjadi perbedaan mendasar di Malaysia dan Indonesia, vonis yang dijatuhkan seorang hakim di Malaysia bergantung kepada patokan putusan sebelumnya pada perkara yang sama,

Dia mengatakan, “Andai ada seseorang mencuri perhiasan dengan motif tertentu, dan telah dijatuhi vonis satu tahun kurungan badan, maka kepada orang lain yang melakukan kejahatan dan motif serupa akan diberi amar putusan yang sama walau berbeda tahun eksekusi putusan hukumnya.”  

Arofah sependapat dengan pernyataan Eman Suparman yang mengatakan dalam kaitannya dengan berperkara hukum maka masalah yang paling krusial bukan pada berperkara dengan biaya yang murah, tetapi keputusan vonis hukuman yang seringkali menjadi problematika yang merumitkan.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home