Candu Kekuasaan

SATUHARAPAN.COM – Reformasi 18 tahun silam kembali ramai diperbincangkan. Selain bertepatan waktunya, kali ini masih dengan agenda meminta pertanggungjawaban negara di dalam menguak pelaku dan aktor intelektual berbagai pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, serta penghilangan sejumlah orang.

Tragedi Mei 1998 ditujukan untuk menggulingkan rezim yang dinilai sudah kelewat batas dalam mengelola republik. Penguasa saat itu semakin tidak terkendali di dalam menghabisi lawan politik, bahkan rakyat yang menolak dirinya dibungkam atas nama stabilitas negara.

Ya, Soeharto—juga orang-orang yang mendomplengnya—semakin kalut. Mereka berusaha matian-matian mempertahankan kepemimpinannya. Padahal proses penolakan terhadap dirinya bukan kali pertama terdengar. Setidaknya, sejak peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) tak sedikit orang yang berusaha mempertanyakan kepemimpinannya.

Kekuasaan bisa menjadi candu bagi siapa yang menggenggamnya dan membuatnya terlena. Dan untuk sebagian orang merebut kekuasaan justru menjadi pilihan hidupnya. Tak sedikit manusia yang menukarkan hal-hal terbaik dalam hidupnya hanya demi sebuah kekuasaan.

Machievelli—pemikir yang merupakan pelopor teori kekuasaan—mengatakan bahwa jika negara ingin kuat, maka rakyat harus lemah; sebaliknya jika rakyatnya kuat, maka negara akan lemah. Teori ini masih digunakan beberapa negara di dunia.  Mungkin teori  ini juga yang digunakan pemimpin yang takut kekuasaannya diambil dari dirinya.

Agaknya, kita perlu perlu belajar dari Dr. Johannes Leimena—pernah menjabat menteri selama 21 tahun tanpa berhenti—yang memandang kekuasaan politik merupakan etika untuk melayani  rakyat. Dia melihat jabatan sebagai amanat, bukan hal yang harus dikejar. Dia tidak melihat kekuasaan sebagai capaian pribadinya, hanya Providentia Dei ’penyelenggaraan Allah’ semata.

Ya, kuasa hanyalah amanat dari Sang Mahakuasa!

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro