Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 13:36 WIB | Senin, 29 Desember 2014

Catatan 2014: Meningkatnya Ekstremisme di Dunia

Serangan NIIS ke Suriah dan Irak bagian utara telah menimbulkan kengerian pada ekstremisme agama di seluruh dunia. (Foto: ist)

SATUHARAPAN.COM –  Situasi dunia dalam kurun 2014 ditandai oleh perkembangan ekstremisme yang makin mengkhawatirkan, terustama estremisme atas dasar agama dan etnis, seperti munculnya Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) di Timur Tengah, Boko Haram dan Al Shabaab di Afrika, pengusiran Rohingya di Burma, juga tekanan ekstremis agama di Sri Lanka, Pakistan dan India.

Beberapa kelompok ekstremis juga mengidentifikasi dari pada identitas etnis. Ekstremisme etnis juga mewarnai konflik di Ukraina dengan munculnya pemberontakan Ukranina timur dan aneksasi Crimea yang mengidentifikasi etnis mereka dengan Rusia. Di Jerman, tampaknya juga muncul gerakan anti Islamisasi yang juga terkait dengan kelompok etnis tertentu, dan Swedia akhir tahun ini semakin waspada.

Ekstremisme agama yang paling menonjol adalah munculnya NIIS yang menyerang wilayah Irak dan Suriah. Namun hal ini harus ditelusuri hingga awal munculnya revolusi Musi Semi Arab pada 2011. Gelombang revolusi ini dimulai dengan aksi massa di Tunisia yang menggulingkan penguasa lama, Ben Ali.

Negara-negara yang dilanda Musim Semi Arab sebagian besar menghadapi masalah serius dengan munculnya ekstremisme. Proses politik yang demokratis belum sepenuhnya bisa dijalankan, bahkan belum bisa menghentikan ekstremisme, seperti terjadi di Mesir, Libya, Tunisia, Yaman, dan Suriah.

Perang saudara di Suriah yang dimulai dengan bertiupnya Musim Semi Arab, bahkan menjadi tragedi yang paling mengerikan pada dekade kedua abad ke-21 ini. Diperparah oleh NIIS yang merebut kekuatan di Suriah dan wilayah Irak utara yang lemah karena diabaikan oleh kekuasaan Baghdad.

Politik Identitas dan Radikalisme

Ekstremisme agama ini pantas menjadi catatan penting, tanpa melepaskan konteks revolusi Musim Semi Arab. Prosesnya harus dilihat dalam konteks tuntutan demokratisasi dan koreksi terhadap pemerintahan diktator atau otoritarian. Sayangnya, meskipun di beberapa negara proses  demokrasi tengah diupayakan, seperti di Libya, Mesir dan Tunisa, adu kekuatan senjata justru masih dipilih seperti di Suriah.

Gambaran yang umum muncul dari peristiwa itu adalah masih kuatnya politik identitas yang sangat mudah berubah menjadi radikalime. Sebagian diwarnai oleh ‘’dendam’’ terhadap diktator pada masa lalu. Tunisia yang mengakhiri kekuasaan Ben Ali, masih harus menghadapi ektremisme suku dan agama yang masih mengganggu proses demokrasi. Meskipun demikian pemilihan parlemen dan presiden pada akhir tahun 2014 diharapkan memberi cahaya baru bagi negeri awal lahirnya Musim Semi Arab ini.

Mesir yang menumbangkan pemerintahan Hosni Mubarak, masih harus bergumul dengan masalah dengan Ikhwanul Muslimin, hingga gerakan ini dinyatakan terlarang dan ribuan pemimpinnya ditahan dan dijatuhi hukuman mati. Politik identitas dan sektarianime yang mucul pasca tumbanya Mubarak, menjadikan Mesir terus dirundung kekerasan berdarah.

Kondisi yang mirip terjadi di Libya, di mana ekstremisme agama terus merongrong proses politik yang akuntabel dan demokratis. Sementara di Yaman kekuatan sektarianisme terus beradu kekuatan untuk memperebutkan kekuasaan.

Suriah masih terbelah dalam pemerintahan Bashar Al Assad dan kelomok oposisi, namun yang kedua ini juga terpecah-pecah atas dasar etnis dan pandangan sekte keagamaan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa tragedi di Suriah akan berakhir. Justru kondisi pada tahun 2014 ini makin parah dengan munculnya NIIS di Irak dan Suriah.

Di sisi lain negara-negara Barat menyikapi masalah ini tetap dari kacamata kepentingan mereka dalam politik dan ekonomi. Suara-suara dari kelompok minoritas di Irak dan Suriah menyebutkan bahwa Barat mengabaikan mereka karena masalah mereka tidak mempunyai nilai ekonomi bagi Barat.

Demokrasi dan Politik Sektarian

Melihat situasi dunia ini, gelombang revolusi Musim Semi Arab dimulai dengan tidak adanya demokrasi di negara-negara itu, dan yang pada gilirannya menyuburkan korupsi. Bahkan kekuasaan otoriter membutuhkan cara-cara ‘’korup’’ untuk mempertahankannya. Namun ketika pemerintahan otoritarian berhasil ditumbangkan, demokrasi tidak bisa berjalan mulus, karena politik identitas dan sektarianisme muncul, bahkan tampil dengan wajah ekstremisme dan kekerasan berdarah.

Hal ini menandai bahwa masalah-masalah dunia masih terus diwarnai oleh politik identitas dan sektarianisme. Segregasi sosial yang diciptakan politik ‘’murahan’’ ini pada awalnya diabaikan karena hanya muncul samar di tingkat masyarakat, namun ketika sampai pada masalah politik, situasinya menjadi sangat rumit dan berbahaya.

Demokrasi menghadapi hambatan yang besar di tengah politik identitas dan sektarianisme, bahkan demokratisasi menjadi tampak utopis, sama utopisnya dengan dunia tanpa korupsi, ketika politik identitas dan sektarianisme terus mendapatkan negeri yang subur.

Sayangnya, dalam tahun 2014 ini kita menyaksikan munculnya politik identitas dan sektarianisme buka hanya di negara yang tengah membangun demokrasi, tetapi juga di Barat yang menyebut demokratis. Meskipun disebutkan sebagai respons atas sektarianisme kelompok tertentu, di Uni Eropa politik identitas juga makin keras.

Situasi ini memberi peringatan yang jelas bahwa upaya untuk mengatasi ekstremisme hanya dengan cara meninggalkan politik identitas dan politik sektarian. Ekstremisme mempunyai akar pada praktik politik identitas. Ini menjadi tantangan bagi proses demokratisasi di negara mana pun, karena diposisikan sebagai prasyarat perubahan, sekaligus sebagai hasil dari perubahan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home