Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Kamis, 24 Maret 2016

Cawat Yesus

SATUHARAPAN.COM – Lebih baik ditegaskan di awal, belum pernah ada penemuan bukti arkeologis cawat Yesus. Mungkin, kalau toh ada, sepotong kain yang menutupi aurat Yesus itu sudah lapuk dan hancur dimakan waktu. Tidak seperti kain Turin.

Anda ingat soal kain Turin? Itu “kain lenan” (Yunani: sindone) yang panjangnya sekitar 4,36 meter dan lebarnya 1,12 meter, berfungsi seperti kain kafan sekarang. Menurut adat istiadat orang Yahudi kuno, jika seseorang meninggal dunia, maka jasadnya dibungkus kain lenan dan diletakkan di dalam goa.

Sudah banyak kain kafan dari masa lampau yang hancur, namun ada satu yang bertahan dan disimpan di Kapel Kain Kafan di Turin, Italia, yang sampai sekarang mengundang perdebatan di kalangan para ahli. Sebab kain di Turin itu dipercayai sebagai kain kafan yang membungkus jasad Yesus, setelah ia mati disalibkan.

Pada kain tersebut “tercetak” jelas tubuh seseorang yang mati karena penyaliban, dengan bekas luka-luka yang persis seperti digambarkan oleh narasi Injil. Lebih menarik lagi, di kain juga tercetak wajah yang kira-kira, dalam imajinasi populer, “mirip” wajah Yesus. Tapi perlu dicatat, sampai sekarang tak seorang pun yakin seperti apa wajah Yesus yang sesungguhnya.

Tak pelak lagi, keberadaan kain kafan Turin itu mengundang minat banyak ahli untuk menyelidiki, benarkah kain itulah yang membungkus jasad Yesus? Bukankah kain tersebut, kalau terbukti benar, dapat menjadi landasan bahwa narasi Injil tentang penyaliban Yesus memang fakta historis yang pernah terjadi? Sudah sepanjang 117 tahun para ahli memperdebatkannya. Dan hasil penelitian tersebut sampai sekarang, seperti dilaporkan National Geographic tahun lalu, masih diselubungi misteri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar Kain Kafan Turin yang menghebohkan [Foto: Istimewa]

 

Apakah Yesus ditelanjangi?

Tapi esai ini bukan soal kain kafan Turin. Juga bukan soal lika-liku pembuktiannya. Kisah tentang misteri kain tersebut sudah banyak ditulis orang, baik dari sudut ilmiah sampai devosi religius yang lahir dan berkembang dari kain itu di kalangan umat.

Saya lebih tertarik pada soal yang lebih spekulatif: soal cawat Yesus. Dan, seperti sudah ditegaskan di awal, sampai sekarang belum ada penemuan bukti arkeologis potongan kain yang menutupi aurat Yesus itu. Tetapi, percayalah pada saya, soal cawat Yesus itu lebih punya makna teologis yang penting. Untuk memahaminya, kita harus melihat sejenak sejarah tentang praktik penyaliban.

Hukuman penyaliban bukanlah temuan asli bangsa Romawi. Konon bukti arkeologis menunjukkan, praktik penyaliban sudah dikenal di Yunani Kuno pada abad ke-7 SM, dan sering dipakai oleh orang Persia. Romawi sendiri, kalau kita percaya cerita Tacitus (56 – 117M), seorang sejarawan Romawi, mengambil alih praktik hukuman itu dari Kartago.  Sementara di Palestina, hukuman penyaliban pertamakali dipraktikkan gubernur Siria terhadap 2.000 orang Yahudi pada abad ke-4 Masehi, kata Flavius Josephus (37 – 100M). Jadi – dan ini fakta historis yang menarik – Yesus mungkin merupakan orang Yahudi pertama yang disalibkan pada masa kekuasaan wali negeri Romawi di Yudea.

Tentu saja kita dapat membayangkan kengerian hukuman penyaliban itu. Banyak film tentang penyaliban Yesus melukiskannya, termasuk pelukisan paling riil dalam The Passion of the Christ (2004) besutan Mel Gibson yang sempat heboh karena mempertontonkan kekerasan secara telanjang. Cicero (107 – 43 SM), politisi ulung Romawi, melukiskan hukuman penyaliban sebagai “hukuman paling bengis dan memuakkan … bentuk hukuman mati yang secara khusus dikenakan pada budak-budak.”  

Lebih menarik lagi kalau kita menelisik rincian proses penyaliban. Pada umumnya, si terhukum diharuskan memikul salibnya (terutama bagian horisontalnya, karena tiang vertikal sudah terpancang) melewati kota dengan telanjang. Ini merupakan bagian “tambahan” dari hukuman mengerikan yang memang dirancang guna menerbitkan rasa takut bagi siapapun yang melihatnya, sekaligus merendahkan martabat si terhukum sampai titik nadir.

Entah karena alasan apa, praktik itu tidak diterapkan saat Yesus disalib. Mungkin karena ketelanjangan memang terlalu mengerikan. Kita tahu, Lukas menyisipkan informasi penting dalam kisahnya, ketika menulis bahwa para prajurit “membuang undi untuk membagi pakaian-Nya” (Lk. 23:34) saat Yesus sudah tergantung di salib. Jadi, bisa disimpulkan, saat harus memikul salib sepanjang via dolorosa menuju bukit Golgotha, Yesus masih berpakaian. Lalu bagaimana saat disalibkan?

Dari penelitian para ahli, hampir bisa dipastikan informasi dari Lukas itu juga berarti bahwa Yesus ditelanjangi dan baru disalibkan. Ini sesuai dengan praktik umum di jaman itu yang menyalibkan para penjahat telanjang bulat. Dalam dua jilid Death of the Messiah (1998), karya raksasa setebal lebih dari 1.500 halaman tentang 36 jam terakhir hidup Yesus, Raymon E. Brown (1928 – 1998) sampai pada kesimpulan yang sama: “Bukti-bukti mendukung, seluruh pakaian Yesus dilepaskan.”

Lukisan "The Body of the Dead Christ in Tomb" karya Hans Holbelin "Muda" (1497 - 1543) di Öffentliche Kunstsammlung, Basel. [Foto: Trisno S. Sutanto]

 

Titik awal salah paham

Kalau cerita yang saya ringkaskan di atas tentang praktik penyaliban itu benar, maka muncul pertanyaan menggelitik: mengapa dalam lukisan atau patung salib yang dapat ditemukan di mana saja, ada cawat yang menutupi aurat Yesus? Sejak kapan cawat itu ditambahkan, dan apa maknanya bagi kita sekarang?

Agak sulit untuk memastikan, sejak kapan kain cawat itu ditambahkan, baik pada lukisan maupun patung Yesus disalibkan. Tetapi, seperti disebut Luis M. Bermejo (Selubung Kirmizi: Jejak-jejak Penyaliban Almasih, Kanisius 2008) yang jadi sumber saya, salah satu gambar penyaliban paling awal dibuat pada abad ke-2 Masehi dalam bentuk pahatan di sebuah permata yang menampilkan tubuh Yesus yang telanjang dan sudah rusak. Setelah itu, kita kehilangan jejak. Dan tubuh Yesus yang tergantung di salib yang kita kenal sampai sekarang sudah ditutupi cawat.

Boleh jadi, ketelanjangan memang terlalu mengerikan jika ditampilkan. Juga bisa menerbitkan perasaan tak senonoh. Bayangkan saja kalau replika patung Yesus yang disalib dan banyak dipajang di rumah, sekolah, atau menjadi hiasan kalung, menampilkan figur Yesus yang telanjang bulat! Tentu ini akan menghebohkan banyak kalangan, malah rentan dituduh sebagai penodaan agama.

Namun soalnya lebih dari sekadar kesopanan. Adanya cawat Yesus sebenarnya menyembunyikan fakta historis sangat penting, bahwa Yesus adalah orang Yahudi yang disunat, taat pada tradisi, dan – kalau istilah ini bisa dipakai – “beragama” Yahudi. Ia mengimani kitab-kitab Musa dan para Nabi, rajin berdoa dan mengajar di Sinagoga, maupun tak pernah lupa merayakan Paskah di Bait Suci, di Yerusalem.

Sayangnya, gambaran historis Yesus sebagai orang Yahudi selama ini tenggelam dan dilupakan orang. Bahkan peristiwa penyaliban, seperti terbukti dalam sejarah Eropa, menjadi salah satu leitmotiv anti-Semitisme yang memuncak pada peristiwa Shoah, yakni pembunuhan enam juta orang Yahudi di zaman Hitler. Baru setelah peristiwa mengerikan itu terjadi, muncul kesadaran baru dan para ahli tafsir pun mempertanyakan ulang makna penyaliban, termasuk juga menggali gambaran tentang figur Yesus yang lebih historis sebagai orang Yahudi.

Ibaratnya, cawat yang selama ini menyembunyikan ke-Yahudi-an Yesus, perlu dibuka. Dan kita pun perlu, memakai ungkapan Marcus Borg yang sangat bagus, “menemukan Yesus lagi untuk pertamakali” (meeting Jesus again for the first time).

Selamat Paskah.

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGi

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home