Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Martin Lukito Sinaga 00:00 WIB | Senin, 28 Maret 2016

Paskah yang Ditemui Setiap Hari di Jalan-jalan

SATUHARAPAN.COM - Mirip dengan suasana jalanan yang serba “rush hour” di kota-kota besar di Indonesia, Paskah pun mengandung momen terburu-buru. Hal tersebut dicatat dalam Kitab Keluaran 12: “buru-burulah kamu memakannya; itulah Paskah bagi Tuhan”. Ketergesaan ini tentu berlatar perjalanan eksodus orang Jahudi dari perbudakaan di tanah Mesir, yang membuat mereka tidak boleh santai berjongkok menimbang-nimbang keputusan, tetapi harus bersegera mengambil sikap.

Apalagi suasana keberangkatan mereka ditandai dengan “crowded multitude”, banyaklah orang ramai yang serba beragam marga dan suku yang hendak menempuh jalan baru di depan mereka.Terlalu panjang diskusi, pasti akan melahirkan terlalu banyak kecemasan dan keraguan dari berbagai pihak. Walau memang, dalam ketergesaan kali ini, mesti ada keteguhan hati dan keterbukaan pikiran menyambut yang bakal terjadi nantinya.

Dalam bahasa Ibrani, ketergesaan tadi dinamai pesakh, artinya Allah melewati rumah-rumah, yang diberi tanda di pintu bukti kesiapan penghuninya. Maka memang pesakh atau Paskah ialah mengenai ikhtiar bersegera manusia melewati berbagai peristiwa, passover, dan menemukan kenyataan pembebasan di jalan-jalan hidupnya. Karena Paskah adalah perjalanan orang beriman, kiranya di situ yang Ilahi dapat ditemui sebagai yang memberi jejak anugerah.

Umat Kristiani pun meneladani hal ini. Sang Anak Domba pemberian Allah itu -diri Yesus Kristus sebagai makanan rohani- mempersembahkan dirinya sebagai jaminan bahwa di jalan-jalan yang manusia lalui, akan ada peristiwa pembebasan. Itulah sebabnya momen Yesus menjamu murid-muridnya untuk terakhir kali selalu dikenang di hari Paskah, sebab di dalam perayaan makan bersama yang singkat itu, dijanjikan bahwa jalan kehidupan orang percaya akan menjadi lapang dan terbuka lebar. Perjamuan tadi juga disebut ekaristi, artinya perjamuan penuh berkah sehingga dirayakan dengan ucapan syukur, eucharistein. Pastilah singkat dan terasa cepat momen perjamuan terakhir itu, agar yang memakannya tahu bahwa peristiwa setelahnya yang sungguh penting: kalaupun ada jalan dengan beban di depan, dapatlah ditempuh dalam terang kebebasan dan kebangkitan.

Dengan semua itu ada yang menetap yang kita bisa rasakan dalam setiap momen Paskah: kehidupan yang dibaharui yang dijanjikan itu selalu sebagai kehidupan di jalan yang terbuka, dan diperuntukkan bagi orang ramai, bukan sekadar untuk diri sendiri. Tapi mesti pula kita bersegera menggerakkannya -sambil tahu lika liku dan kesulitan-kesulitannya-, walau tanpa lupa merayakan syukur atas terbentangnya yang serba baru di hadapan langkah kita semua.

 

Sehari-hari kita

Di negeri ini, jalan yang terbentang di depan kita pun tampaknya serba bersimpangan, dan kita perlu bersegera melewatinya: barusan warga Jakarta dan pemerintah DKI dipaksa agar secepatnya memutuskan moda transportasi mana yang boleh berjalan, antara Go-Jek berkeliaran vs Ojek konvensional di pangkalan, antara taksi beraplikasi digital vs taksi umum bermerek. Banyak lagi corak jalan serba terburu-buru di depan kita: menerima pinggiran sungai yang bersih dari lapak-lapak, atau membiarkan ekonomi informal menyabung hidup di situ. Membiarkan jalanan serba sepeda motor atau mendorong angkutan umum yang menguasai kota. Atau yang lebih pribadi: kita perlu bersegera naik Go-Jek atau naik mobil pribadi agar tiba ke tempat kerjaan tepat waktu. Kita memakai uang untuk beli rumah di pinggir kota atau sewa saja yang dekat kerjaan. Kita berhenti bekerja mapan agar bisa lebih bebas dan eksploratif di bisnis baru, atau sudahlah menekuni yang ada saja demi kepastian kalau nanti pensiun. Memilih pemimpin wilayah yang se-agama, atau ikut memperkenal pemimpin alternatif yang kreatif.

Atas semua pilihan bersegera itu tampaknya tak ada yang sungguh jelas dan pasti lagi, sebab terlalu banyak faktor menyekitari setiap keputusan yang akan diambil. Tak ada juga sudut pandang dari sebuah ‘buku pintar’ yang bisa menetapkan segala sesuatu secara jitu.

Bahkan pilihan moral kita pun tak segera jernih: biarlah pasar bebas kapitalisme yang bekerja, siapa tahu saya diuntungkan akibat kompetisi terbukanya. Inilah kiranya yang disebut fair itu. Tapi di pihak lain, saya tahu makanan khas daerah saya akan dikalahkan oleh makanan serba kemasan di mart-maret yang menjamur itu, dan petani petani saudara kandung saya di kampung halaman akan jadi buruh tani saja untuk melayani perkebunan sawit serba modern itu. Ini pulalah tampaknya yang disebut sebagai tidak adil itu.

Di tangan kita yang menggenggam smart phone, ada ruang serba digital seperti jalan raya penuh cahaya, yang mendesak kita agar melirik berita yang tergesa-gesa dan berlimpah. Ada tawaran untuk merangsang sensualitas di situ, tapi ada juga kumpulan doa pagi. Ada yang jor-joran menjual produknya, tapi ada yang murah hati memberi dengan gratis informasi praktis belajar bahasa asing. Kita harus bergegas meng-klik, dan tak mungkin lagi meminta nasihat jalan mana yang baik dalam kita menempuh surfing digital yang tak sabar itu.

 

Bangkit setiap Hari

Karena perlunya bersegera memutuskan, maka pastilah bukan ide-ide besar lagi yang tersisa di sepanjang jalan dan di setiap hari-hari kita. Begitu juga kepada orang Yahudi kala eksodus dulu, atau kepada umat Kristen, atau kepada kita semua: tak bisa lagi keputusan diambil dari sudut pandang yang besar, tetapi dari kesiapan dan kesigapan kita mengambil sikap atas banyaknya peristiwa yang berseliweran tiap hari. Maka semacam hikmat kita perlukan di sini.

Gerhard von Rad, ahli tafsir Alkitab mencatat bahwa akibat hidup kita yang ruwet dan kadang membingungkan, maka tak bisa dihindari betapa semua kita memerlukan semacam seni hidup praktis yang kiranya membantu kita menghadapi berbagai perkara harian. Tapi penulis kitab Pengkotbah mencatat betapa tidak mudahnya hal itu:

Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan (Pkh 3:16)

Atau dalam teks Pengkotbah 9:11,

"Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua".

Tapi, syukurlah bukannya sikap skeptis atau patah-arang yang diusulkan oleh Alkitab menghadapi semua kerumitan dan kontradiksi dalam hidup ini. Dari para bijak Alkitabiah itu kita pun diundang terus melangkah, tapi perlulah juga “...berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan..” (Pkh 2:12a). Dan cara kita meninjau hikmat dan kebodohan tadi ialah dengan bersegera dan terus menerus mencari jalan kebebasan dan kebangkitan di setiap hari di berbagai persimpangan jalan kehidupan kita. Seorang Jesuit Perancis, Michel de Certeau mengusulkan bahwa semacam kebangkitan haruslah ditemukan di setiap hari dan di setiap jalan, seperti inilah kurang lebih pesan studi dan bukunya berjudul The Practice of Everyday Life. Tak perlu kita ikut arus seperti ikan mati, tetapi seperti dalam studi de Certeau tentang orang yang hidup di kota-kota di Perancis, mereka adalah warga urban yang terus mencari hikmat agar cekatan menghadapi berbagai pilihan. Selalu muncul taktik menghadapi hidup yang terburu-buru tersebut, pertama-tama agar mereka bisa mendapat akses di ruang publik, tetapi juga agar bisa terus sintas menghidupinya. Keseharian adalah medan sensibilitas, dan kita perlu segera menemukan hikmat, mengutip de Certeau, dengan membaca yang tersembunyi ‘di antara’ baris-baris kalimat itu, ‘to read between the lines’, agar menemukan peluang di dalamnya.

Sekalipun kita lebih banyak jadi konsumen berbagai produk, tetapi selalu ada pilihan kita yang mempengaruhi keadaan agar yang lebih baik dan bermutulah yang disajikan produsen kepada kita. Menolak kantong kresek, menolak makanan berkalori tinggi, memboikot produk-produk dari negara penindas, mengurangi memakai mobil pribadi, lebih banyak berbelanja di pasar tradisional, mematikan lampu atau AC yang tak perlu nyala, sampai aktif dalam petisi pengurangan karbon, lalu sibuk menciptakan rumah ibadah “sahabat alam hijau”, lalu menjadi diri yang immun atas propaganda negatif para politisi; semua itu adalah hikmat yang dapat kita ambil walau hidup terburu-buru, dan secara diam-diam kita -kalau bersekutu sebagai orang ramai, sebagai Multitude (mengutip judul buku pergerakan dari Antonio Negri dan Michael Hardt)-, sesungguhnya kita sedang mewujudkan janji kebebasan dan kebangkitan tersebut.

Dengan kata lain: diam-diam kita telah merayakan Paskah, tapi kali ini di jalan-jalan, setiap hari, dalam ketergesaan, dan dengan hikmat!    

Penulis adalah pendeta di jemaat Gereja Kristen Protestan Simalungun/GKPS, dosen-tamu di STT Jakarta dan STF Driyarkara.

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home