Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 19:17 WIB | Selasa, 05 Mei 2015

CORE: Pengurangan Pajak Investor Kurang Efektif

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto (kiri) dan Direktur Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal (kanan) dalam acara CORE Media Discussion (CMD) dengan tema "Upaya Reindustrialisasi di Era Jokowi: Menakar Insentif Pajak dan Sistem Pengupahan" di Warung BEJO, Jl. Tebet Barat Dalam Raya no 128, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (5/5) siang. (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) yang baru terbit tentang fasilitas pengurangan pajak bagi investor tidak akan efektif dalam mendorong peningkatan penanaman modal di Indonesia.

Menurut Akhmad Akbar, masalah yang dihadapi para investor justru berada pada bagian hulu dan tengah dari kegiatan investasi, bukan di hilir seperti insentif pajak. 
 
Hulu dan tengah yang lebih dibutuhkan investor sekarang ini seperti proses perizinan yang tidak rumit dan cepat juga ketersediaan bahan baku yang murah dan supply yang stabil seperti energi gas dan listrik, sewa lahan.
 
Menurut Akhmad, PP No.18 tahun 2015 yang akan berlaku mulai 6 Mei 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu ini mirip dengan PP No 62 tahun 2008 dan PP no 52 tahun 2011, sangat mungkin tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para investor.
 
"Nampaknya tax allowance ini masih setengah hati seperti harus ada persetujuan dalam rapat trilateral yang dihadiri oleh Dirjen Pajak dan staf ahli Kemenkeu, BKPM, dan kementerian teknis terkait sesuai dengan bidang usaha yang diajukan dalam permohonan. Sehingga potensi penundaan pemberiaan izin dapat terjadi jika tidak disetujui oleh salah satu lembaga tersebut meski syarat-syarat telah terpenuhi," kata Akhmad.
 
Dia mengatakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai tindak lanjut dari paket kebijakan insentif fiskal bagi pelaku industri untuk meningkatkan kegiatan investasi langsung guna mendorong pertumbuhan ekonomi, serta untuk pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan
 
“PP ini mengatur tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu. PP ini sebagai tindak lanjut dari paket kebijakan insentif fiskal bagi pelaku industri,” kata Akbar dalam acara CORE Media Discussion (CMD) dengan tema "Upaya Reindustrialisasi di Era Jokowi: Menakar Insentif Pajak dan Sistem Pengupahan" di Jakarta Selatan, Selasa (5/5) siang. 
 
Menurut Akbar, dalam PP ini industri diberikan pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal, yang selanjutnya dibebankan selama enam tahun atau masing-masing 5 persen per tahun. “Penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud,” kata dia menambahkan.
 
“PP ini membuka peluang bagi perusahaan untuk berinvestasi dan yang memenuhi syarat untuk bisa membayar pajak lebih kecil dari seharusnya,” kata Ekonom CORE Indonesia itu.
 
Selain itu, lanjut Akbar, pengenaan PPh atas deviden yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri sebesar 10 persen atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku. “Kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun, tetapi tidak lebih dari 10 tahun,” ujar dia.
 
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan sistem pengupahan berkaitan dengan daya saing dan daya beli tenaga kerja. 
 
“Terkait kenaikan upah minimum provinsi/kabupaten, tingkat upah dan pertumbuhannya sangat bervariasi antar daerah. Rata-rata inflasi negara berkembang pada 2010-2014 relatif tinggi menekan daya beli,” kata Faisal. 
 
Sementara itu, data Faisal menyebutkan, kesejahteraan buruh sangat rentan terhadap inflasi bahan pangan. “Pengeluaran penduduk perkapita menurut kelompok barang dan paling tinggi kelompok makanan dan minuman jadi sebesar 13 persen,” kata dia.
 
Menurut Faisal, terkait perbandingan upah nominal dan upah riil Indonesia, walau secara nominal meningkat, namun upah riil relatif stagnan. ”11 Provinsi menetapkan Upah Minimum Regional di bawah Kebutuhan Hidup Layak (KHL) pada 2015, maka diperlukan kebijakan untuk mengontrol KHL itu,” ujar dia.
 
Selanjutnya, kata Faisal, presentase pekerja dengan upah di atas atau di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) hampir 50 persen pekerja masih menerima di bawah UMP. 
 
“Perkembangan upah dan produktivitas tenaga kerja, peningkatan upah belum diimbangi peningkatan produktivitas. Peningkatan tenaga kerja mempengaruhi produktivitas dan masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah,” kata Direktur Riset Core Indonesia itu.

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home