Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 16:08 WIB | Selasa, 03 Juni 2014

CSW: Keberagaman Berkeyakinan dalam Ancaman Serius

Benedict Rogers saat mempresentasikan "Pluralism Indonesian in Peril", Selasa (3/6) siang di Utan Kayu, Jakarta. (Foto: Prasasta)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Christian Solidarity Worldwide (CSW) wilayah Asia Tenggara, Benedict Rogers, mengemukakan sejumlah fakta pada Selasa (3/6) siang, di Utan Kayu, Jakarta, bahwa hak dasar manusia untuk berkeyakinan di Indonesia berada dalam ancaman serius.  

Ancaman serius itu bukan datang dari sekelompok massa yang kerap membuat keonaran dan tidak ingin melihat hidupnya agama lain, tetapi negara kurang mampu mengendalikan sekelompok mayoritas yang tergolong berpaham radikal atau ekstrem.

Benedict Rogers mengatakan hal itu dalam rangka peluncuran laporan penelitian terbarunya yang berjudul "Indonesia: Pluralism in Peril - The Rise of Religious Intolerance Across the Archipelago (Indonesia: Pluralisme dalam Ancaman – Meningkatnya Aksi Intoleransi di Segenap Penjuru Nusantara)", yang edisi bahasa Inggrisnya diluncurkan pada Februari 2014.

“Pertama-tama saya ingin menerangkan bahwa CSW merupakan organisasi yang menangani hak kebebasan berkeyakinan," katanya, menegaskan CSW melihat kebebasan beragama dalam sudut pandang semua kepercayaan di dunia, bukan hanya Kristen, sebagaimana tercantum dalam nama lembaga, Christian (Kristen, Red).

CSW meyakini Indonesia sesungguhnya memiliki potensi menjadi bangsa yang besar, karena bisa mengakomodasi tradisi leluhur, salah satunya adalah ragam kepercayaan dan agama.

“Amat disayangkan Indonesia tertular ‘virus’ kebebasan dari negara lain, karena di satu sisi orang bisa bebas memeluk agama, tetapi karena terpantik atau terpicu kekerasan yang terjadi di negara lain maka di Indonesia terjadi kekerasan yang terjadi pada minoritas,” ia menggambarkan.

“Situasi di luar, seperti kekerasan yang terjadi di Myanmar terjadi dalam konteks dan latar belakang yang hampir sama dengan di Indonesia saat ini,” ia menambahkan.

Rohingnya, dari Myanmar hingga Aksi Balasan

Kerusuhan Rohingnya pada 2012 adalah serangkaian konflik yang meletus antara warga Buddha Rakhine melawan Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine utara, Myanmar.

Kerusuhan diduga dipicu sengketa sektarian, dan kedua belah pihak mengutuk kejadian itu. Penyebab utamanya masih belum jelas, meski banyak komentator menyebut pemerkosaan dan pembunuhan seorang perempuan Rakhine yang diikuti pembunuhan sepuluh Muslim Burma oleh orang Rakhine sebagai pemicunya.

Pemerintah Myanmar menanggapi dengan menetapkan jam malam dan mengirim pasukan ke wilayah konflik. Pada 10 Juni 2012 keadaan darurat dinyatakan di Rakhine, sehingga angkatan bersenjata  turut serta dalam administrasi pengamanan di wilayah tersebut. Pada 22 Agustus 2012, laporan resmi PBB menyebut 88 orang tewas, 57 di antaranya Muslim dan 31 di antaranya Buddha. Penduduk suku Rohingnya banyak mengungsi keluar dari Myanmar, hingga ke Thailand bahkan ke Indonesia.

Sementara warga Indonesia telanjur terprovokasi, dibuktikan dengan adanya aksi serangan bom di Vihayara Ekayana, Jakarta Barat, Minggu, 4 Agustus 2012.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri kala itu, Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan peletak bom tersebut bernama Anton, yang telah ditangkap di Banyumas beberapa hari seusai peristiwa  tersebut. Boy mengatakan, berdasar kesaksian Anton, tindakan pengeboman di tempat ibadah umat Buddha itu adalah aksi solidaritas mereka atas isu kekerasan terhadap Muslim Rohingya, Myanmar.

Benedict Rogers menuturkan saat ini meningkatnya intoleransi agama mengancam untuk menghancurkan pencapaian sebuah negara yang berlandaskan demokrasi dan ber-Bhinneka Tunggal Ika,

“Ancaman tidak hanya untuk kaum minoritas agama di negara itu tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia yang menghargai hak asasi manusia, perdamaian, dan stabilitas,” ia menambahkan.

Berdasar penelitiannya, pluralisme Indonesia dalam bahaya karena hampir semua agama dan komunitas kecil di dalamnya akan terpengaruh, yakni Ahmadiyah, Syiah, Muslim Sufi, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, Baha'i, penganut adat tradisional keyakinan, dan orang-orang tidak beragama.

“CWS masih menyayangkan saat ini para pluralistik Muslim berpikiran juga berada di bawah ancaman, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman dari kelompok-kelompok seperti Jaringan Islam Liberal, dan serangan oleh kelompok Islam radikal pada penulis feminis Muslim Kanada Irshad Manji pada 9 Mei 2012 di sebuah kampus di Yogyakarta untuk mempromosikan buku baru,” ia mencontohkan.

Benedict Rogers menganggap perlu mempresentasikan penelitiannya itu kepada bangsa Indonesia. Karena itu dia menggandeng Wahid Institute dan ICRP guna mensosialisasikan melalui media dan undangan yang hadir.

“Kami menganggap penting bahwa prinsip kerja kami berdasar pada Artikel 18 Piagam PBB bahwa kebebasan beragama merupakan bagian penting bagi semua makhluk di dunia,” katanya.

Benedict Rogers, yang juga kepala CSW wilayah Korea Utara dan sekitarnya, telah bekerja di penanganan konflik Buddha melawan Muslim di Rohingnya, dan hampir 40 kali keluar masuk negara tersebut untuk menangani konflik yang telah ia tulis dalam beberapa buku, yang antara lain berjudul A Nation at the Crossroads (Random House, 2012), Than Shwe: Unmasking Burma’s Tyrant (Silkworm Books, 2010), dan yang ketiga dia tulis bersama Baroness Cox berjudul  The Very Stones Cry Out: The Persecuted Church - Pain, Passion and Praise (Continuum, 2011). Buku lainnya berjudul On the Side of the Angels: Justice, Human Rights and Kingdom Mission (Authentic, 2007).

“CSW juga memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu apabila tidak ingin memeluk satu aliran kepercayaan atau memilih agama tertentu, termasuk CSW menghargai seseorang berpindah keyakinan,” Rogers menambahkan.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home