Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 19:08 WIB | Sabtu, 01 Maret 2014

Dema UIN Sunan Kalijaga Gelar Dialog Kebangsaan

Dialog Kebangsaan bertema Internalisasi Nilai Pancasila, Upaya Mengawal Pemilu Berkualitas untuk Indonesia Jaya diselenggarakan di Yogyakarta pada Jumat (28/2). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga pada Jum’at (28/2) menggelar dialog kebangsaan bertema Internalisasi Nilai Pancasila: Upaya Mengawal Pemilu Berkualitas untuk Indonesia Jaya.

Dialog yang digelar di Ruang Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga ini menampilkan tiga narasumber, yaitu Agung SS Widodo, S.Sos.I., MA., dari Pusat Studi Pancasila, Universitas Gajah Mada (UGM); Sri Surani, SP., dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta; dan Hafizen Barbaroza, S.Kom.I., aktivis mahasiswa yang kini aktif di Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Transformasi Sosial  (LKiS). 

Pada kesempatan pertama, Agung SS Widodo, S.Sos.I., MA., dari Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM menyampaikan tentang Pancasila yang menjadi titik tolak dari untuk membuka ruang yang lebih luas. Agung juga menambahkan bahwa nilai-nilai Pancasila hendaknya dapat dishare ke ruang-ruang yang lebih dinamis, tidak hanya normatif semata.

“Pancasila harus menjadi titik pijak atau titik tolak untuk membuka ruang yang lain, semisal pemilu. Hal ini penting untuk mengoptimalkan aplikasi dari nilai-nilai Pancasila, sehingga nilai-nilai Pancasila yang sangat normatif dapat juga memiliki nilai dinamis jika diterapkan dalam pemilu,” tutur Agung.

Lebih lanjut Agung juga mengungkapkan tentang korelasi Pancasila dengan politik, Agung secara khusus menyoroti tentang calon legislatif (caleg) dan calon pemimpin masa depan bangsa.

“Bicara Pancasila untuk politik, maka bukan hanya bicara orang per orang tetapi bicara tentang rakyat. Caleg yang Pancasilais seharusnya tidak mewakili individu atau perorangan melainkan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam konteks Pancasila, wakil rakyat adalah orang yang mendapat amanah dari rakyat sehingga bukan perwakilan dari golongan atau partai politik tertentu,” ujar Agung.

Sri Surani, SP., membuka pembicaraan tentang “penyakit” yang diderita oleh KPU yang tak pernah absen dari perhelatan pemilu yang satu ke pemilu berikutnya, misalnya carut-marut persoalan DPT. Menurut wanita yang duduk di Divisi Sosialisasi KPU Kota Yogyakarta ini, masalah DPT ini terus saja tak pernah absen menjadi masalah wajib yang dialami KPU Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, KPU masih memberikan waktu bagi para pemilih untuk mendaftarkan diri, sehingga dapat menggunakan hak suaranya hingga H-14.

Selaku bagian dari Divisi Sosialisasi, dalam kesempatan ini, Sri Surani juga menghimbau kepada para pemilih pemula untuk mendaftarkan diri jika belum mendaftar, termasuk di dalamnya para pemilih yang berasal dari luar Yogyakarta.  

“Kami mencermati suara-suara dari pemilih pemula karena suara mereka sangat potensial. Pemilih pemula yang mencapai jumlah sekitar delapan persen dari total pemilih, menjadi ladang yang subur untuk dimanfaatkan bagi kepentingan tertentu. Oleh karena itu, kami memberi pemahaman kepada pemilih pemula tersebut untuk menggunakan hal pilihnya secara benar. Pasalnya, KPU memiliki cita-cita, yaitu membuat rakyat mampu menjadi pemilih yang cerdas untuk memilih wakil rakyat yang cerdas,” ungkap Sri Surani.

Terkait dengan mahasiswa, Sri Surani mengharapkan peran serta secara aktif untuk menyukseskan Pemilu 2014 ini.

“Mahasiswa dapat berperan serta secara aktif dalam pemilu. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah mengecek apakah dirinya sudah terdaftar dalam DPT atau belum. Selain itu, mahasiswa juga bisa terjun langsung sebagai pemantau pemilu. Cara lain yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah membuka ruang berdialog dengan para caleg untuk dikonfrontir seputar visi-misi mereka, misalnya yang terkait dengan dunia pendidikan. Hasil dari diskusi ini kemudian dipublikasikan ke masyarakat sehingga masyarakat tahu tentang pemimpin masa depan yang mewakili mereka,” himbau Sri Surani.

Pembicara ketiga, Hafizen Barbaroza, S.Kom.I., menyoroti tentang nilai-nilai Pancasila yang semakin luntur akibat kurang diakomodir di dunia pendidikan. 

“Nilai-nilai Pancasila semakin luntur karena pendidikan kurang mengakomodirnya. Salah satu indikator yang jelas adalah pelajaran tentang Pancasila tidak diujikan dalam Ujian Nasional (UN). Padahal pendidikan ini sangat penting untuk angkatan muda penerus bangsa. Oleh karena itu, nilai-nilai Pancasila ini seharusnya diinternalisasikan ke dalam ranah pendidikan,” demikian disampaikan oleh Hafizen Barbaroza.

Bagi Hafizen, pendidikan yang kurang mengakomodir nilai-nilai Pancasila menjadikan produk yang lahir dari pendidikan itu sendiri kurang memahami Pancasila. Akibat dari hal ini, maka para pemimpin yang lahir dari sistem yang kurang Pancasilais menjadi tak memahami, bahkan jauh dari nilai-nilai Pancasila.

“Wakil rakyat seharusnya menjadi representasi amanah rakyat, namun kini yang terjadi jauh dari apa yang diamanahkan oleh rakyat. Lembaga representasi memang ada, namun apa yang disuarakan belum tentu aspirasi rakyat. Inilah yang saya bilang, demokrasi di Indonesia masih prosedural,” ucap Hafizen.

Diskusi yang dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seDIY, dan masyarakat umum ini berlangsung cukup komunikatif. Beberapa pertanyaan yang ditujukan oleh para pembicara membuat situasi diskusi yang digelar mulai pukul 15.00 WIB tersebut berjalan semakin menarik. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home